JAKARTA.bipol.co – Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang, mengingatkan, tidak bisa menyamaratakan semua media sosial (medsos) memiliki konten yang buruk dan tidak sesuai fungsi jurnalistik.
“Kita harus akui beberapa kasus justru terungkap oleh medsos. Bahwa netizen belum terdidik semuanya, itu masalah waktu,” katanya, di Jakarta, saat sarasehan virtual bertajuk “Masihkah Pers Berkontribusi Bagi Perkembangan Demokrasi di Indonesia”, Selasa (1/9).
Bahkan, kata dia, banyak juga konten medsos yang sudah memenuhi kriteria sebagai produk jurnalistik meskipun tidak dikerjakan orang yang berprofesi sebagai wartawan.
Dari kategori medianya sebagai medsos, kata dia, juga bukan media yang terverifikasi dan berbadan hukum sebagai dipersyaratkan Dewan Pers, tetapi mereka telah melaksanakan fungsi pers.
“Saya melihat ke depan sangat menarik karena rakyat sudah mengetahui bagaimana membuat berita, bagaimana melakukan investigasi, kemudian membuat program seperti di televisi melalui YouTube. Banyak yang merupakan kerja jurnalistik,” ujarnya.
Meski keberadaan medsos kian berkembang dengan produk yang dihasilkan hampir menyamai produk-produk jurnalistik media arus utama, dia yakin tidak akan menggeser pers sebagai pilar keempat demokrasi, namun justru menjadi pilar kelima.
Ia mengakui, problem yang terjadi sekarang adalah adanya kekalutan lebih dari para pemilik modal industri media karena konten-konten medsos memang telah mengurangi pendapatannya.
“Tetapi tidak bisa kemudian melarang netizen, melarang rakyat berkarya di medsos,” katanya.
Sementara itu, pakar hukum media, Prof Judhariksawan, tidak memungkiri adanya media yang dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal atau politik, tetapi tidak sedikit pers yang masih menjaga idealismenya.
“Kenapa (media) dikuasai industri? Karena regulasi kita memang membolehkan itu. Jadi, masuk mereka memanfaatkan pers untuk kepentingan modal,” katanya.
Apalagi, menurut mantan ketua Komisi Penyiaran Indonesia itu, Indonesia juga belum final dalam menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi, sebab dalam sejarah kemerdekaan sampai sekarang memang nampak pers masih terombang-ambing oleh kepentingan dan pengaruh.
Mestinya, kata dia, kalau sepakat bahwa pers final ditempatkan sebagai pilar keempat demokrasi maka DPR bisa membuat regulasi, misalnya pemilik media tidak boleh berafiliasi dengan lembaga politik atau kepentingan modal.
Meski demikian, Judhariksawan tetap menaruh optimisme terhadap keberlangsungan pers yang semakin baik dan berintegritas dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi ke depan.
“Saya ingin membangun optimisme, karena banyak teman-teman yang berjuang mencoba membangun itu. Jangan pesimistis yang kita kedepankan,” katanya. (net)
Editor Deden .GP