JAKARTA.bipol.co- Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Dr Emrus Sihombing menilai dinamika perpolitikan di Indonesia lebih dari sekadar cair karena yang dominan adalah politik pragmatis.
Tidak heran jika koalisi parpol di Indonesia bisa sedemikian cair dan berubah-ubah, seperti PDIP dengan Gerindra yang berkompetisi sengit di pilpres, namun tak lama setelahnya kedua partai malah tampil “mesra”.
“Koalisi parpol kan ‘last minutes’ semua, (dibangun) menjelang pilpres, pilkada. Kalau politik ideologis, koalisi semestinya dibangun 10-20 tahun sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif Emrus Corner itu.
Kecenderungan politik pragmatis itu, kata dia, baru terlihat setelah era reformasi, mengingat saat Orde Baru sedemikian kaku karena sarat dengan kepentingan penguasa.
“Zaman Presiden Soekarno dinamika politik masih kental. Politik ideologisnya kentara. Kalau Orde baru didominasi kepentingan satu tokoh, saat Orde Lama banyak tokoh yang tampil,” katanya.
Namun, kata dia, semua elite yang tampil itu kompak mengusung semangat nasionalisme dalam berpolitik, ideologis, berbeda dengan zaman sekarang yang cenderung pragmatis.
Mengenai arah perpolitikan di Indonesia ke depan, Emrus mengatakan sangat bergantung dengan dinamika politik nasional dan internasional, apalagi seiring era media sosial yang kian pesat.
“Kedua, tergantung elite politik. Apakah mereka masih mengembangkan politik identitas yang sempit dan perilaku pragmatis, atau menjunjung tinggi keindonesiaan,” katanya.
Semestinya, kata Emrus, para elite politik mengembangkan politik ideologis sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, bukan pragmatisme dan politik identitas sempit yang semakin mempertajam perbedaan.
“Bagaimana politik ideologis yang dimaksud? Ya, sesuai nilai-nilai Pancasila. Menjunjung persatuan, keberadaban, dan mengedepankan musyawarah,” katanya. (ant)