“Telah terbukti dalam tata negara kita bahwa situasi yang dianggap genting itu ketika dijadikan dasar dikeluarkannya Perppu, dalam beberapa kasus tidak cukup valid,” kata Margarito, di Jakarta, Minggu(29/9/2019).

Menurut dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY? pernah mengalami hal serupa seperti yang dirasakan Presiden Jokowi saat ini tentang polemik UU KPK.

SBY saat itu mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU Pilkada saat mendapat desakan. Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui UU Pilkada pada 26 September 2014.

“Anda tahu dulu UU Pilkada, lalu ada demo ramai di mana-mana dan dengan itu dijadikan dasar oleh Pak SBY mengeluarkan Perppu. Apakah setelah itu keadaan Pilkada kita berubah? Tidak berubah, tambah buruk,” jelasnya.

Oleh karena itu, Margarito meminta Presiden Jokowi berhati-hati dalam mengenali syarat konstitusi guna mengeluarkan Perppu. Jokowi tidak boleh mengambil keputusan karena desakan, dan alasan mengeluarkan Perppu harus masuk akal secara konsep dan filosofi.

“Coba bilang pada bangsa ini, orang-orang yang menghendaki demokrasi itu, apakah demokrasi itu menghalalkan absolutisme, menghalalkan ketertutupan, menghalalkan kerahasiaan. Tidakkah seluruh gagasan UU KPK yang diubah itu, adalah untuk memastikan adanya akuntabilitas, transparansi, dan itu adalah esensi demokrasi bernegara,” paparnya.

Margarito menyadari adanya aspirasi dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. Namun, Margarito juga mengingatkan bahwa UU KPK sudah disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Selain itu, ada juga pihak-pihak yang menginginkan UU KPK diterapkan demi transparansi dan akuntabilitas.

“Saya berpendapat bahwa ini bisa didialogkan. Anda tahu Hitler menjadi otoriter karena apa? Karena desakan orang, desakan publik. Dia (Jokowi) mesti tahu itu. Dia mesti tahu bahwa jumlah orang yang diam itu ada,” kata Margarito. (ant)