“Makin di kota, orang bukan makin gotong-rotong, tetapi makin individualis. Jarang ketemu tetangga,” katanya, di Jakarta, Selasa (19/11).
Hal itu dia sampaikan saat Pembekalan Materi Pendidikan dan Pelatihan Pembinaan Ideologi Pancasila Bagi Penceramah, Pengajar, dan Pemerhati yang digelar di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Hotel Borobudur, Jakarta.
Ia adalah wakil presiden terakhir pada masa pemerintahan almarhum Presiden Soeharto, yang masih bersama kita.
Namun, dia akui, masih saja ada orang-orang kaya yang enggan datang pada acara masyarakat semacam itu, dan menggampangkannya dengan membayar iuran. “Orang-orang kaya sulit dipertemukan, tahunya bayar. Duit itu perlu, sebagai alat, tetapi jangan untuk memperalat orang,” tegasnya.
Individualisme masyarakat di perkotaan, kata dia, ditunjukkan dengan model-model hunian yang mengadopsi pagar besar, tinggi, dan tertutup. “Peraturannya, pagar itu tingginya 1,5 meter dan terbuka. Tetapi lihat, ada rumah dengan pagar beton, tinggi, tidak ada lubang. Itu mesti ditegur,” katanya.
“Takut rumahnya dirampok, dimaling, jadi bikin pagar besi, tinggi, kemudian ada tombak-tombaknya, dan sebagainya. Malu kita sebagai umat yang berpancasila,” katanya.
Meski demikian, Try Sutrisno mengapresiasi semangat gotong-royong yang selama ini masih dipertahankan masyarakat di pedesaan.
“Gotong rotong masih di desa, kalau di kota mulai individualisme. Makanya, mari kita teruskan tradisi-tradisi yang baik, seperti gotong-royong, saling ‘nuturi’, saling menegur,” katanya. (ant)