Rullyandi mengatakan hal itu, di Jakarta, Minggu(15/6), menanggapi pernyataan Guru Besar Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan yang menyebutkan Pilkada telah menabrak tiga teori.
Tiga teori itu, yakni tidak ada pilkada jika ada bencana, tidak digelar pilkada jika orang tidak dalam keadaan aman maupun usulan alternatif mengenai mekanisme pengangkatan pelaksana tugas pemerintah daerah.
Rullyandi berpandangan, keseluruhan pandangan Guru Besar IPDN itu jika dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis melahirkan suatu problem konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Padahal ini sebagai amanah konstitusi untuk menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang berkepanjangan,” kata dalam keterangan tertulisnya.
Menurut dia, sesuai dengan pedoman garis besar rambu-rambu konstitusional yang telah memberikan amanah bagi penyelenggaraan negara termasuk didalamnya proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal.
“Dan, Perpu Nomor 2 Tahun 2020 merupakan instrumen konstitusional untuk menghadapi situasi kegentingan akibat bencana non alam wabah pandemi global COVID-19,” jelas Rullyandi.
Sehingga, telah mempertimbangkan berbagai alasan subjektif dan alasan objektif keputusan dan komitmen negara untuk memutuskan pemilihan lanjutan pilkada serentak 9 pada Desember 2020 sebagaimana ditinjau secara kontekstual ketentuan Pasal 122 A ayat 2 dan Pasal 201 A Perpu Nomor 2 Tahun 2020.
“Serangkaian tindakan cepat dan responsif Pemerintah, DPR dan KPU dalam upaya mencermati dinamika ketatanegaraan ditengah bencana non alam COVID-19 sebagai kebutuhan urgensi konstitusional menghadapi potensi ancaman ketidakpastian hukum kekosongan jabatan kepala daerah yang definitif,” kata Rullyandi.
Rullyandi menambahkan, bencana wabah pandemi non alam Covid-19 dapat dicegah dengan protokol kesehatan yang ketat, tersosialisasi dengan baik dan terimplementasi dengan penuh disiplin sebagaimana diamanahkan oleh WHO.
Menghadapi tatanan kehidupan normal baru, maka setiap negara diperlukan proses perubahan kultur adaptasi yang tidak menghentikan dan menunda kegiatan ekonomi dan pemerintahan.
“Penyelenggaraan pemilihan aman COVID-19 telah berhasil diselenggarakan diberbagai negara sebagai bukti kemampuan pelaksanaan pemilu di tengah pandemi COVID-19 menjadi barometer ukuran bagi tingkat indeks demokrasi suatu negara yang diakui dihadapan internasional,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pancasila ini.
Sehingga, kata dia, keputusan persetujuan bersama Pemerintah, DPR, dan KPU untuk menyelenggarakan pilkada 9 Desember 2020 secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangan keamanan protokol kesehatan COVID-19.
“Dengan demikian kondisi ketidakpastian berakhirnya wabah pandemi Covid-19 dan dalam waktu yang sangat singkat kedepan untuk menghadapi berakhirnya masa jabatan kepala daerah di 270 daerah tidak memungkinkan suatu negara berdaulat yang demokratis untuk membiarkan tidak menyelenggarakan proses pemilihan lanjutan demi keberlangsungan pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan power full dalam mengambil keputusan yang strategis,” ujarnya. (net)