JAKARTA, bipol.co – Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih harus dibahas secara berkelanjutan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang ikut terkena dampak dari masuknya era digital ke Indonesia.
Menurut dia, era digital membuat DPR harus membuat jaminan legislasi bahwa data yang dikuasai pemilik data adalah data yang legal (sah) menurut seluruh aturan konstitusi yang ikut terkena efek digitalisasi.
“Kita memasuki normal baru, ini normal baru yang hubungannya dengan masyarakat digital 4.0, banyak yang dibahas. Ini adalah suatu pekerjaan yang terus berkembang, dan memang itulah inti dari hukum konstitusi,” ujar Farhan saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Rabu.
Menurut Farhan, pembahasan RUU PDP itu bisa dimulai dari dua hulu peraturan perundang-undangan terlebih dulu, yaitu UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran.
“(Bahasan) RUU PDP ini, sebetulnya pangkalnya dan hulunya itu adalah UU Telekomunikasi, lalu berdampingan dengan itu ada UU Penyiaran,” ucap Farhan.
Setelah itu, kata Farhan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU KKS).
“Ke bawahnya lagi ada legislasi-legislasi level ketiga, keempat, kelima yang memang mesti sejalan semuanya, termasuk nanti kami mesti memikirkan apakah data pribadi ini juga ada urusannya dengan kewenangan pemerintah daerah,” ujar Farhan.
Misalnya, Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan UU Pemilihan Umum. Farhan mengatakan bahwa Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentu perlu melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan big data.
Selain itu, pengaturan kegiatan statistik seperti sensus penduduk, sensus pertanian, perbankan, dan lain-lain yang ikut menggunakan big data. Menurut Farhan, RUU PDP itu harus dilihat dari sudut pandang yang seluas-luasnya.
“Hal itu besar dan gede ya, tadi ada wacana menarik, dari siapa saya lupa, bahwa perlukah kita melakukan tinjauan untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 agar sesuai dengan ekosistem digital? Kan waktu UUD 1945 sama amendemen yang terakhir (disahkan), belum berpikir digital,” kata Farhan. * ant
Editor: Hariyawan