JAKARTA.bipol.co- Amerika Serikat masuk ke jurang resesi terburuk sejak 1947. Resesi ekonomi ini terjadi setelah penyumbang utama ekonomi AS yaitu konsumsi rumah tangga merosot 34,6 persen secara tahunan. Perekonomian Amerika Serikat terkontraksi 32,9 persen pada kuartal II 2020, menyusul pertumbuhan minus 5 persen pada kuartal I 2020.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut resesi AS akan berdampak pada perdagangan Indonesia. Pasalnya, AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah China.
Melansir Kementerian Perdagangan, 11,42 persen dari total ekspor non-migas RI berasal dari AS. Sementara, untuk periode Januari-Mei 2020, AS menyerap 11,84 persen dari total ekspor non-migas Indonesia.
“Tentu ketika mereka mengalami resesi, konsumsi dan permintaan akan produk-produk kita akan menurun. Saya kira akan jadi masalah untuk barang-barang ekspor ke AS,” ucapnya, Jumat (31/7).
Beberapa komoditas utama, kata Tauhid, yang selama ini mengandalkan pasar AS seperti tekstil, elektronik, produk nabati, dan beberapa produk berbasis sumber daya alam lainnya akan mengalami pukulan terberat.
Menurutnya, penurunan permintaan telah terasa sejak kuartal pertama tahun ini, setelah perdagangan dengan AS menurun 7 persen sejak Januari lalu.
Untuk nilai tukar mata uang, Tauhid menilai Indonesia akan diuntungkan dengan terapresiasinya rupiah. Sebab, dengan hantaman resesi, dolar AS otomatis akan merosot akibat menurunnya kepercayaan global terhadap dolar AS.
“Karena AS resesi, otomatis nilai tukar rupiah semakin menguat karena kepercayaan terhadap dolar menurun,” lanjut Tauhid.
Kemudian, untuk penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) juga bergerak dua arah. Indonesia dinilai dapat diuntungkan dengan keluarnya penanaman modal di AS mengingat AS merupakan negara tujuan FDI terbesar dunia.
Jika pemerintah Indonesia dapat menarik investasi dari AS ke dalam negeri, Tauhid mengatakan RI dapat meraup untung.
“Untuk FDI dari AS ke Indonesia relatif kecil, AS tidak masuk salah satu investor terbesar di kita, jadi tidak terlalu pengaruh,” ucapnya.
Tauhid meramal dengan lesunya permintaan dan konsumsi di Negeri Paman Sam, harga minyak mentah juga akan ikut terperosok. Dalam hal ini pemerintah bisa saja mengambil kesempatan untuk beli di harga murah dan menampung dalam jumlah banyak sehingga harga BMM bisa ditekan.
Namun, melihat kilang penampungan PT Pertamina (Persero) yang terbatas, Tauhid pesimis pemerintah bisa mengambil kesempatan tersebut. Apalagi, di tengah seretnya keuangan Pertamina.
Diketahui, pemerintah masih berutang sebesar Rp97 triliun kepada Pertamina yang dijadwalkan dilunasi sebagian atau Rp45 triliun tahun ini dan sisanya dicicil tahun depan.
Ekonom Perbanas Institute Piter Abdullah menilai dampak wabah virus corona untuk negara-negara yang mengandalkan ekspor seperti AS bagai bom waktu, tinggal menunggu waktu hingga menyatakan mengalami resesi.
Namun, ini berbeda dari Indonesia yang mengandalkan konsumsi dalam negeri sehingga dampak resesi AS terhadap Indonesia minim.
“Tapi Indonesia bukan negara seperti itu. Kita tidak bergantung ekspor. Jadi resesi di AS dan di banyak negara lainnya tidak akan menambah buruk perekonomian Indonesia,” paparnya. [net]
Editor: Fajar Maritim