Menurut Krizia, pelonggaran fiskal yang relatif tidak terlalu agresif oleh pemerintah, mengingat defisit fiskal dibatasi di bawah 3 persen, menyebabkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik juga relatif terbatas.
Selain itu, peningkatan daya saing, khususnya untuk area nonkomoditas menjadi sangat krusial untuk meningkatkan investasi yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tinggi lagi.
“Salah satu tantangan bagi ekonomi Indonesia ke depannya, masih seputar defisit pada neraca berjalan. Khususnya di saat ini, ketika penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI) belum bisa menutupi atau membiayai dari defisit pada neraca berjalan ini,” kata Krizia.
Dari pasar obligasi, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 13,6 persen sampai dengan akhir November 2019. Hal tersebut didorong oleh imbal hasil “real yield” yang cukup tinggi, dan juga kebijakan moneter akomodatif bank sentral global.
Bank Indonesia tahun ini sudah menurunkan suku bunga sebanyak empat kali. Rupiah bergerak relatif stabil, rata-rata perdagangan tahun ini di kisaran Rp14.153 per dolar AS.
“Diharapkan, percepatan reformasi kebijakan, stabilitas politik dan perbaikan earning perusahaan dapat mendorong sentimen investasi untuk pasar keuangan Indonesia,” ujar Krizia.
Laporan terkini menunjukkan bahwa data pertumbuhan ekonomi dan sektor tenaga kerja AS masih tetap positif.
Dari Eropa, meski ekonomi masih berada dalam fase konsolidasi, namun mulai ada sinyal stabilisasi. Sektor manufaktur Euro Zone di November meningkat ke level 46,9 dari bulan sebelumnya 45,9, ditopang oleh perbaikan dari Jerman dan Perancis.
“Harapannya, terciptanya kesepakatan dagang dan masih ada ruang bagi bank sentral di kawasan Asia dan negara berkembang untuk menurunkan suku bunga, dapat mendorong sentimen investasi untuk pergerakan pasar finansial bagi di Asia maupun negara berkembang,” ujar Krizia. (ant)