JAKARTA, bipol.co – Rakernas I PDIP menghasilkan sejumlah usulan, salah satunya rekomendasi mengenai sistem pemilu proporsional tertutup. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkhawatirkan adanya pergeseran potensi politik uang apabila pemilu proporsional diterapkan.
“Mungkin keluhannya selama ini dengan proporsional terbuka marak money politik di situ banyak politik uang. Pertanyaannya apakah ada jaminan ketika dari daftar terbuka ke tertutup politik uang itu dapat diminimalisir? Jangan-jangan politik uang itu bergeser dari ranah publik atau ke pemilih langsung ke dalam, ke internal partai untuk mendapatkan nomor urut 1 dan nomor urut 2 bisa kita sebut kandidasi buying,” kata peneliti Perludem, Heroik Pratama, sebagaimana bipol.co kutip dari detik.com, Rabu (15/1/2020).
Dalam sistem pemilu proporsional tertutup, pemilih hanya disodorkan logo partai, bukan nama-nama caleg, sehingga partai dapat menentukan sendiri nomor urut caleg. Heroik membeberkan sistem ini berpotensi melahirkan oligarki di tubuh partai.
Jika sistem pemilu porposional tertutup diputuskan, Heroik menilai perlu adanya keterbukaan rekrutmen caleg di internal partai. Penentuan nomor urut caleg, tutur Heroik, perlu melibatkan seluruh anggota partai.
“Misalnya rekrutmen politiknya dia menggunakan primary election atau pemilihan pendahuluan di internal partai. Jadi dalam menentukan data caleg nomor urut 1 nomor urut 2 dan seterusnya partai politik melakukan mekanisme pemilihan di internal partai ini melibatkan anggota anggota partai,” kata Haroik
Menurutnya, keterbukaan demokrasi rekrutmen caleg juga dapat meminimalisir praktik penguatan oligarki di internal partai.
“Termasuk juga untuk meminimalisir kandidasi buying, atau money politics yang bergeser dari ranah pemilih kerana internal partai akibat adanya penempatan nomor urut calon 1, 2 dan seterusnya. Hal ini bisa diminimalisir dengan mekanisme demokrasi di internal partai melalui rekrutmen yang terbuka,” lanjutnya.
Perludem justru meminta parpol yang mengusulkan sistem proporsional tertutup untuk menjelaskan ke publik urgensi diubahnya sistem pemilu terbuka menjadi tertutup itu. Apalagi, menurut Heroik, sejak pemilu 2009 hingga 2019 pemilihan kontestasi politik sudah terbiasa dengan cara terbuka, di mana nama-nama calon legislatifnya secara langsung terpampang dalam surat suara.
Namun memang, tambah Heroik, ada kemudahan bagi masyarakat apabila pemilu proporsional tertutup diterapkan, salah satunya yakni hanya memilih logo partai di bilik suara saat pencoblosan. Akan tetapi, mekanisme penetapan calon terpilih akan menjadi masalah.
“Pertanyaannya bagaimana partai politik melakukan kandidasi, bagaimana rekrutmen politiknya siapa yang berhak mendapatkan nomor 1, siapa yang berhak mendapatkan nomor 2 dan publik harus mengetahui hal itu. Artinya syarat demokrasi di internal partai itu menjadi penting ketika proporsional tertutup itu diterapkan,” paparnya.*
Editor: Hariyawan