JAKARTA, bipol.co – Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada dasarnya berpihak pada pekerja. Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja ini ingin mengangkat kesejahteraan para pekerja dan memastikan pemenuhan hak-haknya.
Hal itu dikatakan Kepala Biro Hukum, Persidangan, dan Humas Kemenko Perekonomian, I Ktut Hadi Priatna, pada acara diskusi Indonesia Podcast Show 03 yang diadakan oleh PemudaFM.com bertema “Omnibus Law di Mata Generasi Milenial” di Beranda Kitchen, Jakarta Selatan, Jumat (14/2/2020).
Pemerintah, kata Ktut Hadi, terus berupaya agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja bisa mengakomodir semua kepentingan rakyat, khususnya para pekerja di seluruh Indonesia. Pada RUU itu keberpihakan pemerintah pada pekerja sangat kentara.
“Misalnya pada poin yang terkait dengan mekanisme pengupahan. Pada RUU itu diajukan ketentuan, pekerja yang bekerja penuh waktu yakni selama 8 jam harus diberikan upah harian atau bulanan, sedangkan pekerja yang bekerja paruh waktu diberikan upah per-jam,” kata dia.
Ujar dia, itu RUU yang berkeadilan, baik bagi pekerja maupun pengusaha.
Terkait penghapusan hukum pidana pada perusahaan pelanggar hukum, bukan berarti itu penghapusan secara keseluruhan, melainkan hanya beberapa pelanggaran yang tidak diberikan hukum pidana karena bukan pelanggaran yang begitu besar.
Dia kemudian memperjelas bahwa Omnibus Law berfungsi untuk merevisi, bukan mencabut undang-undang yang berlaku.
Menurutnya, dengan metode ini perbaikan undang-undang dapat lebih mudah, lebih terarah, dan cepat dilaksanakan. Ia juga menambahkan, Omnibus Law ini sudah beberapa kali digunakan di Indonesia
“Omnibus Law ini tidak hanya terkait pekerja atau ketenagakerjaan, namun juga terkait penyederhanaan izin mendirikan usaha. Salah satu poin RUU ini mengatur pendirian PT perseorangan, tidak harus perseroan,” ujarnya.
Pada diskusi itu hadir pula narasumber lain, yakni Kepala Subdirektorat Standardisasi dan Fasilitas Pengupahan, Kemenakertrans, Amelia Diatri Tuangga Dewi; Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Mikhail Gorbachev; Wasekum PP FSP KEP SPSI; Afif Johan; dan Pengamat Komunikasi, Emrus Sihombing.
Amelia Diatri Tuangga Dewi memaparkan bahwa Omnibus Law bertujuan untuk mengatasi undang-undang yang tumpang tindih. Konsep ini berangkat dari situasi perubahan cepat dunia saat ini yang harus direspon dengan cepat pula.
“Melalui Omnibus Law, mekanisme perubahan hukum dapat lebih cepat dilakukan. RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menghadapi situasi dan kondisi kontemporer yang sudah tidak relevan lagi apabila dihadapkan dengan UU Ketenagakerjaan yang sudah berumur dua dekade,” tegasnya.
Juru Bicara PSI, Mikhael Gorbachev, mengajak generasi milenial tidak langsung menolak atau menerima Omnibus Law. Menurut dia, generasi milenial perlu mengakaji lebih dalam terkait persoalan ini.
“Kami hanya mengingatkan bahwa Omnibus Law adalah metode dalam pembuatan hukum yang menurut saya sangat menarik karena dapat menyapu bersih banyak undang-undang yang kurang baik dan menggantinya dengan satu undang-undang baru,” ujar Gorbachev.
Pendapat dari Emrus Sihombing menyebutkan, Omnibus Law akan berdampak pada kesejahteraan di berbagai bidang, baik ekonomi, politik, maupun sosial.
Menurut Emrus, Omnibus Law juga seharusnya dimanfaatkan untuk mengtasi permasalahan bangsa, seperti toleransi beragama.
“Seharusnya proses penyusunan Omnibus Law ini melibatkan publik secara terbuka, misalnya untuk RUU Cipta Kerja harus melibatkan organisasi serikat pekerja,” kata Emrus.**
Reporter: Firdaus | Editor: Hariyawan