Soal HAM dan Intoleransi, Presiden Harus Jawab Harapan Publik

- Editor

Senin, 17 Februari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi (net)

Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi (net)

JAKARTA.bipol.co- Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan Presiden Joko Widodo harus menjawab harapan publik terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu dan intoleransi di Indonesia.

“Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf memang belum genap satu tahun. Presiden Jokowi masih punya waktu dan mesti menjawab harapan publik yang setia memberikan dukungan pada periode kedua dan percaya bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi akan ditunaikan pada periode kedua ini,” kata Hendardi di Jakarta, Minggu (16/2).

Ia pun mengkritisi pernyataan Presiden Jokowi dalam wawancara salah satu media. Pemerintah saat ini lebih memprioritaskan persoalan ekonomi ketimbang penyelesaian pelanggaran HAM.

Hendardi menilai pernyataan Presiden Jokowi menunjukkan bahwa nyaris tidak ada harapan bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi yang menjalar di tengah masyarakat, di sekolah, kampus, dan bahkan di tubuh aparatur sipil negara serta TNI/Polri.

“Diletakkannya HAM sebagai bukan agenda prioritas oleh Presiden juga menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki pengetahuan holistik soal HAM,” kata aktivis HAM ini.

Hak asasi manusia, kata dia, adalah paradigma bernegara, bukan semata kasus atau pelanggaran HAM.

“Presiden Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM, dan agenda pembangunan lainnya. Dengan pemahaman yang demikian, agenda HAM bisa diintegrasikan dalam seluruh kinerja pemerintahan,” katanya menjelaskan.

Hendardi pun mengingatkan bahwa tugas konstitusional memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia yang di dalamnya juga memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM, dan jaminan kesetaraan dalam beragama/berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih-pilih oleh seorang presiden.

“Semua tugas konstitusional melekat pada seorang presiden dalam suatu periode pemerintahan,” katanya.

Oleh karena itu, tambah Hendardi, presiden dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan dalam berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan.

“Sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut,” katanya.

Apalagi, khusus agenda penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama yang secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014.

Hendardi menambahkan bahwa Presiden Jokowi memiliki banyak perangkat dan instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

Gagasan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawacita 2014 adalah model yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

“Fokus komisi ini adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau nonyudisial. Jika komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya,” ujar Hendardi.

Namun, sayangnya Presiden Jokowi justru mengurungkan niatnya pada periode kedua ini dengan alasan prioritas kepemimpinanya adalah pemajuan ekonomi-kesejahteraan dan penguatan SDM.

“Lalu kapan janji penuntasan bidang HAM akan dipenuhi? Jokowi sudah memasuki periode II,” kata Hendardi mempertanyakan.

Di bidang penanganan intoleransi, kata dia, komitmen Jokowi tampak hanya untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri yang oleh Jokowi dianggap memiliki kecakapan penangan intoleransi.

“Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan/lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi. Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara,” kata Hendardi.  (net)

Editor       Deden .GP

Berita Terkait

Anggota Komisi B Anton Ahmad Fauji Setuju Batas Waktu Pemutihan PKB Diperpanjang
Anton Ahmad Fauji Harap Hari Jadi ke-384 Kinerja Bedas Jilid 2 Lebih Nyata
Ratusan Jenderal Tandatangani Pernyataan Sikap, Usul Pergantian Gibran dan Reshuffle Menteri Pro-Jokowi
Dukung Hasto, Massa Penuhi Pengadilan Tipikor Gunakan Rompi Oranye Bertuliskan “Hasto Tahanan Politik”
H. Eep Jamaludin Sukmana Manfaatkan Reses di Bulan Ramadhan untuk Bersilaturahmi dan Tampung Aspirasi
AHY Terpilih Kembali Sebagai Ketum, Puan Harap Partai Demokrat Terus Gotong Royong Bangun Bangsa
Secara Aklamasi AHY Terpilih Kembali Jadi Ketum Partai Demokrat: Berharap Bisa Bangkit
Ono Surono: Retreat Tidak Ada Aturan UU, Empat Kepala Daerah di Jabar Patuhi Perintah Megawati

Berita Terkait

Selasa, 22 April 2025 - 14:52 WIB

Anggota Komisi B Anton Ahmad Fauji Setuju Batas Waktu Pemutihan PKB Diperpanjang

Selasa, 22 April 2025 - 13:21 WIB

Anton Ahmad Fauji Harap Hari Jadi ke-384 Kinerja Bedas Jilid 2 Lebih Nyata

Jumat, 18 April 2025 - 14:16 WIB

Ratusan Jenderal Tandatangani Pernyataan Sikap, Usul Pergantian Gibran dan Reshuffle Menteri Pro-Jokowi

Sabtu, 22 Maret 2025 - 17:37 WIB

Dukung Hasto, Massa Penuhi Pengadilan Tipikor Gunakan Rompi Oranye Bertuliskan “Hasto Tahanan Politik”

Selasa, 11 Maret 2025 - 17:23 WIB

H. Eep Jamaludin Sukmana Manfaatkan Reses di Bulan Ramadhan untuk Bersilaturahmi dan Tampung Aspirasi

Berita Terbaru

KESEHATAN

Cegah TBC, Dinkes Cimahi Gencarkan Active Case Finding (ACF)

Kamis, 24 Apr 2025 - 13:36 WIB