BIPOL.CO, BANDUNG – Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung Maulana Fahmi mengatakan, dihentikannya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) oleh Pemkab Bandung baru-baru ini, karena efek UHC (capai cakupan kesehatan semesta atau Universal health Coverage) yang diklaim 96 persen penduduk Kabupaten Bandung sudah menjadi peserta BPJS.
“Ini kan karena efek dari UHC yang katanya penduduk Kabupaten Bandung sudan mencapai 96 % kepesertaan BPJS dan kami mengapresiasi kinerja Bupati menggenjot kepesertaan, tetapi di sisi lain mohon dicermati juga karena masih banyak warga yang tidak mampu dan belum menjadi peserta BPJS,” ujar Maulana Fahmi saat ditemui di Ruang Fraksi PKS DPRD Kabuoaten Bandung, Soreang, Rabu (11/1/2023).
Menurut Fahmi–sapaan akrab Maulana Fahmi–dengan adanya UHC yang 96% itu konsekuensinya adalah beban APBD yang semakin membengkak.
Fahmi yang juga anggota Badan Anggaran ini menerangkan, dewan bersama Pemkab Bandung, telah mengetok palu untuk meng-cover kepesertaan BPJS atau pelayanan kesehatan di APBD 2023 sebesar Rp 65 miliar, namun karena ingin mencapai UHC 96% belakangan Pemkab Bandung ingin menambah anggaran menjadi Rp 165 miliar.
“Kami kebetulan anggota banggar yang kami menganggarkan 65 Miliar untuk meng-cover kepesertaan BPJS atau pelayanan kesehatan, tiba-tiba karena ingin mencapai UHC yang 96% penduduk Kabupaten Bandung tercover, itu jadinya bukan 65 miliar lagi sekarang Kabupaten Bandung harus menyediakan anggaran 165 miliar,” kata legislator dari Fraksi PKS ini membeberkan.
Fahmi merasa khawatir, dengan pembengkakkan anggaran hingga Rp 100 miliar itu ada bencana APBD, karena tidak ada.mekanisme penyusunan APBD di sana.
“Bayangkan APBD sudah diketok sejumlah Rp 65 miliar untuk BPJS baik itu yang gratis, ya gratis, sudah diketok, tapi tiba-tiba kebutuhan karena ingin mengejar UHC itu menjadi Rp 165 miliar, ini 100 miliar uangnya dari mana. Makanya kita khawatir ada bencana APBD, karena nggak mungkin di tengah jalan ditambahkan Rp 100 miliar dan tidak ada mekanisme penyusunan APBD di sana,” uangkap Fahmi.
Nah itulah, tutur Fahmi, yang memyebabkan SKTM itu dihentikan. “Sementara SKTM dialokasikan melalui BTT (belanja tidak terduga) dengan pos kesehatan itu kita cuma alokasikan pada APBD 2923 itu hanya Rp 10 miliar yang seharusnya itu digunakan untuk mengkover SKTM, tetapi kemudian karena UHC yang kebutuhannya 100 miliar tadi wah dari mana uangnya. Semnetara yang BTT 10 Miliar untuk SKTM itu sebenarnya kita alokasikan untuk tunggakan SKTM tahun 2002,” paiae Fahmi.
“Ini makin saya khawatir untuk membayar SKTM tahun 2022 kemudian khawatir juga ketika kita menganggarkan Rp 65 miliar tapi kebutuhan kita Itu 165 miliar dan pertanyaannya dari mana 100 miliar untuk mengcover UHC tadi,” imbuhnya.
Kaitan itu, kata Fahmi, Komisi D sedang mendesak pada pemerintah untuk mendapatkan klarifikasi apakah nantinya UHC dibatalkan atau dilanjutkan.
“Dan coba kita minta klarifikasi dan alhamdulillah dapat gambaran ya seteleh berembuk. Apakah nantinya dibatalkan atau dilanjutkan dan setelah saya konfirmasi UHC itu tidak bisa dibatalkan, 96% dengan dana seratus miliar itu tetap harus jalan. Sekarang pertanyaannya dari mana kekurangan uang yang 100 miliar itu, karena kalau di-cansel atau tidak jadi itu aturannya ada tiga, yaitu harus pindah ke mandiri, pesertanya meninggal atau mutasi. Ini kan bukan ketiga tiganya,” tambah Fahmi.
Kalau pun, sambung Fahmi, nanti misalnya ada peluang yang Rp 100 miliar itu dianggarkan di perubahan atau DAU, tentu belum tahu seberapa besar potensinya. “Jadi karena ketidakcermatan dalam penganggaran maka yang menjadi korban masyarakat miskin akibat SKTM dihentikan, ini efek dari kebijakan yang tidak cermat, seharusnya berhitung dengan cermat, kurangi anggaran yang tidak prioritas, fokuskan ke anggaran kesehatan dan pendidikan;” kata Fahmi menutup perbincangannya.
Sepertindiberitakan bipol.co, Pemerintah Kabupaten Bandung dikabarkan mulai 1 Januari 2023 telah menghentikan pelayanan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bagi masyarakat. Atas dihentikannya pelayanan SKTM ini sangat disayangkan Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung Maulana Fahmi.
“Ini mungkin kebijakan sepihak Pemerintah Daerah dan merugikan masyarakat terutama masyarakat miskin,” kata Maulana Fahmi, saat ditemui di Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang, Rabu (11/1/2023).
Menurut Fahmi, atas dihentikannya pelayanan SKTM tersebut, banyak masyarakat yang mempertanyakan kepada dirinya, karena mereka tidak bisa lagi membuat SKTM untuk keperluan pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan di RSUD, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu yang belum memiliki BPJS.(deddy)