BIPOL.CO, JAKARTA – Pemerintah resmi membentuk Danantara, sebuah holding yang akan mengelola aset tujuh BUMN besar dengan total nilai mencapai Rp14.715 triliun.
Holding ini digadang-gadang mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi nasional, mengadopsi model serupa dengan Temasek Holdings di Singapura. Namun, pembentukan holding ini juga mengundang perhatian sejumlah pihak yang menyoroti potensi risiko yang bisa muncul.
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengingatkan bahwa sejarah pengelolaan aset negara tak selalu berjalan mulus. Ia merujuk pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis ekonomi 1998, yang menyisakan luka besar bagi perekonomian nasional akibat lemahnya pengawasan dan intervensi politik.
“Dalam kasus BLBI, kita melihat bagaimana dana negara dapat disalahgunakan karena lemahnya pengawasan. Jika Danantara tidak dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi, ada risiko skenario serupa terjadi,” ujarnya, dikutip dari Fajar.co.
Pada krisis 1998, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp144,5 triliun melalui skema BLBI untuk menyelamatkan perbankan nasional. Sayangnya, banyak dana tersebut yang tidak kembali ke kas negara akibat penyalahgunaan oleh para bankir dan konglomerat yang memiliki kedekatan dengan elite politik.
Hardjuno menilai, tanpa mekanisme pengelolaan yang jelas dan sistem pelaporan keuangan yang transparan, Danantara bisa mengalami nasib serupa.
Sebagai perbandingan, ia menyoroti model Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia yang dianggap sukses dalam mengelola aset negara secara transparan dan independen. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua skema holding investasi negara berjalan tanpa cela.(Ads)