JAKARTA, bipol.co – RUU KUHP masuk Prolegnas 2020 dan kemungkinan besar akan disahkan karena sudah disetujui di Tingkat I. RUU KUHP di-carry over dari DPR 2014-2019 sehingga tidak dikaji dari nol agar tidak mengalami pemborosan anggaran.
RUU KUHP mengatur sejumlah pasal yang belum diatur dalam KUHP saat ini. Di mana KUHP saat ini adalah peninggalan penjajah Belanda yang telah berlaku 100 tahun lebih.
Apa saja yang harusnya diatur oleh RUU KUHP? Berikut sejumlah contohnya:
- Larangan Kumpul Kebo
RUU KUHP melarang setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
“Bukan suami atau istrinya”, disebutkan:
- Laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
- Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
- Laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
- Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
- Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Delik tersebut adalah delik aduan. Selama orangtua, anak, suami, atau istri tidak melaporkan, maka negara tidak berhak mengusutnya.
- Penghinaan Presiden
Pasal penghinaan terhadap Presiden tertuang dalam RUU KUHP, untuk menggantikan KUHP kolonial Belanda. Namun, kebebasan berpendapat untuk mengkritik kebijakan pemerintah, tidak termasuk kategori pengihinaan presiden.
Pasal 218 ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
“Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah,” demikian bunyi penjelasan RUU KUHP versi 15 September.
Maksud ‘menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri’ pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
“Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena ‘menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan’ (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala perse, dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara,” ujarnya.
Pasal 218 ayat 2 juga menegaskan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
“Dalam ketentuan ini dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi,” katanya.
Untuk mencegah kesewenang-wenangan negara, maka delik Penghinaan Presiden bukan delik biasa. Pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan. Pengaduan itu dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden.
“Yang dimaksud ‘Kuasa Presiden atau Wakil Presiden’ dalam ketentuan ini adalah pejabat atau seseorang yang ditunjuk oleh Presiden atau Wakil Presiden,” kata penjelasan RUU KUHP.
- Pidana Korporasi
RUU KUHP meluaskan subjek pidana dengan mendefinisikan ‘barang siapa’ tidak hanya orang, tapi menjadi orang dan juga badan usaha/korporasi.
“Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi,” demikian bunyi Pasal 182.
Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan korporasi merupakan subjek tindak pidana. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi korporasi yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, maka bisa dikenakan pidana pokok dan pidana tambahan. Selain itu juga bisa dikenakan:
- pembayaran ganti rugi;
- perbaikan akibat Tindak Pidana;
- pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
- pemenuhan kewajiban adat;
- pembiayaan pelatihan kerja;
- perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
- pengumuman putusan pengadilan;
- pencabutan izin tertentu;
- pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;
- penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi;
- pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan
- pembubaran korporasi.
“Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi,” demikian bunyi Pasal 122 ayat 4.
- Pendeklarasian Diri Dukun Santet
Di Indonesia, banyak orang mengaku-aku dukun santet. Kerap meresahkan masyarakat karena masyarakat menjadi khawatir jangan-jangan dirinya yang akan kena santet.
KUHP Belanda yang berlaku di Indonesia saat ini, tidak mengenal delik ‘pendeklarasian diri dukun santet’. Oleh sebab itu, RUU KUHP mengantisipasinya dengan membuat pasal itu. Pasal ini masih dalam satu bab dengan pasal yang menjerat ‘pembunuh bayaran’.
Berikut bunyinya: Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Hukuman diperberat menjadi 4 tahun penjara apabila dukun santet itu dijadikan pelaku sebagai pekerjaan.
“Masyarakat kita ini kan masih banyak di daerah daerah yang, kita takut nanti justru disalahgunakan. Saya misalnya bisa santet orang mana sini bayarannya saya bisa mematikan orang dengan mengirim apa. Tapi kalau mengirim drone bisa mematikan orang. Jadi supaya tidak ada penyalahgunaan upaya upaya dengan mencari keuntungan keuntungan yang tidak benar,” kata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.
- LGBT
Dalam KUHP saat ini, LGBT hanya dikenakan kepada pelaku yang korbannya anak (belum berusia 18 tahun). Bila sudah sama-sama dewasa, maka tidak bisa dipidana.
Pasal 292 berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
RUU KUHP kemudian mengubah konsep pemidanaan LGBT dalam KUHP. Negara tidak bisa menghakimi LGBT sepanjang dilakukan di ranah privat.
Namun, sepanjang LGBT dilakukan di ranah publik/tempat umum seperti melakukan pencabulan di muka umum, maka bisa dipenjara 18 bulan.
Pasal 421 selengkapnya berbunyi:
- Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
- di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.
- secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
- yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
- Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
- Hukum Adat
Indonesia adalah negara yang beragam suku bangsa. Tiap-tiap suku, memiliki adat dan kebiasaan. Hal ini tidak diatur dalam KUHP, karena di Belanda masyarakatnya homogen.
Oleh sebab itu, RUU KUHP memberikan pengakuan hukum adat dalam hazanah hukum nasional.
Pasal 2 ayat 1 berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini;
Pasal 2 Ayat (2): Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
“The living law, itu dalam konstitusi kan hukum adat kita dihargai, tetapi tidak berarti setiap hukum adat yang ada jadi berlaku. Tidak! Dia adalah mana yang relevan kemudian di Perda-kan kemudian nanti dikodifikasi di atas dan ini hukum-hukum adat harus yang punya. Satu tidak bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila, tidak bertentangan dengan HAM, menganut azas universal , dan uu yang ada,” kata Prof. Muladi.*
Editor: Hariyawan