JAKARTA.BIPOL.CO – Penangkapan Munarman oleh Densus 88 Antiteror Polri, dinilai tidak sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Ahli Hukum Pidana Abdul Chair Ramadhan mengatakan, dalam UU itu penangkapan terhadap seseorang harus didahului dengan penetapan status tersangka.
Selain itu, penetapan status tersangka itu minimal berdasarkan dua alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan orang yang diduga bersalah.
Namun, kedua hal itu menurutnya tidak dilakukan oleh Densus 88 dalam melakukan penangkapan Munarman.
“Penangkapan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,” kata Abdul Chair dalam keterangan persnya, Rabu (28/4).
Dia menyebut belum adanya pemeriksaan pendahuluan dalam kasus penangkapan Munarman, bisa dianggap tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana amanat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Jadi, pada intinya tidak mendapatkan atau tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku,” ujar direktur Habib Rizieq Shihab Center (HRS Center) itu.
Sebelumnya Munarman ditangkap Densus 88 Antiteror Polri di kediamannya, Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (27/4) pukul 15.00 WIB.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan penangkapan Munarman terkait dengan aktivitas baiat. Salah satunya yang berlangsung di Markas FPI Makassar pada 2015.
“Iya (baiat, red),” kata Argo saat dikonfirmasi Selasa (27/4).
Hal serupa juga disampaikan Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Kombes Ahmad Ramadhan. Dia menyebut Munarman terlibat tiga kegiatan baiat.
“Jadi, terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar dan ikuti baiat di Medan. Ada tiga hal tersebut lebih detailnya tanya kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya,” kata Ramadhan.