YOGYAKARTA,bipol.co – Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Wawan Masudi menilai sikap untuk tidak menggunakan hak suara atau golput bisa menggerus proses pendewasaan demokrasi di Indonesia.
“Bagaimanapun juga bagi negara yang sedang mengalami pendewasaan berdemokrasi partisipasi pemilih merupakan tiang pancang paling penting,” kata Wawan saat jumpa pers “Peta Potensi Golput 2019” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Yogyakarta, Senin (25/02/2019).
Menurut dia, kuatnya tingkat partisipasi pemilih akan menunjukkan kuatnya tiang pancang demokratisasi. Sebaliknya, apabila tingkat partisipasi memilih mengalami penurunan maka bisa jadi sedang terjadi ancaman terhadap proses demokratisasi yang sedang berlangsung.
“Situasi rendahnya partisipasi memilih dihadapi banyak negara termasuk di Amerika Serikat dan Eropa. Di Indonesia hal itu bisa membahayakan proses demokrasi,” kata dia.
Oleh sebab itu, lanjut dia, munculnya model kampanye golput itu harus dilihat oleh berbagai pemangku kepentingan di Yogyakarta secara serius. Tanpa mendapatkan perhatian khusus maka proses demokratisasi di Indonesia bisa mengalami penggerusan.
“Masifnya kampanye golput akan menjadi ancaman bagi legitimasi demokrasi,” kata dia.
Peneliti Laboratorium Bigdata Analytics UGM Arya Budi berharap meski golput merupakan hak para peserta pemilu, penyelenggara pemilu perlu mengantisipasi potensi golput di berbagai daerah.
Fenomena golput, menurut dia, bisa memunculkan problem legitimasi demokrasi. Di sisi lain dengan tingginya angka golput maka pemilu hanya dinikmati para elite.
“Pemilu hanya akan dinikmati para elite jika publik memilih berdiam di rumah (golput),” kata dia.
Arya menyebutkan berdasarkan analisis data dari media sosial dalam rentang 27 Januari-19 Februari 2019 seperti twitter menunjukkan bahwa percakapan soal golput di Jawa Barat menempati posisi pertama mencapai 21,60 persen, diikuti DKI Jakarta 14,94 persen, dan Jawa Timur 14,64 persen.
Arya mengatakan isu golput menjadi ramai diperbincangkan di media sosial di antaranya karena isu itu mulai dilontarkan oleh orang-orang atau tokoh publik yang memiliki pengaruh dengan jumlah pengikut yang banyak.
Pemicu lainnya, kata dia, adalah ketika bertepatan dengan momentum politik yang pas seperti saat debat pilpres di mana sebagian orang kemungkinan merasa kecewa atau tidak cocok dengan kedua pasangan capres-cawapres.
“Meskipun ada juga yang disebabkan persoalan teknik (pemilu), tetapi yang paling banyak memang karena adanya kekecwaan atau secara ideologi tidak ada yang nyambung dengan para kandidat,” kata dia.[ant]