JAKARTA, bipol.co – Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, Profesor Mahfud MD, mengatakan persoalan radikalisme harus mendapat perhatian serius karena radikalisme dekat dengan terorisme.
“Batasnya tidak jauh. Seorang radikal itu kalau ada kesempatan dan kalau ‘bensinnya’ cukup itu ujungnya ke teror,” kata Mahfud dikutip dari siaran pers di Jakarta, Sabtu.
Sebagai gerakan yang ingin membangun kesadaran berbangsa dan bernegara tanpa intoleransi, tanpa teror, Gerakan Suluh Kebangsaan pun menaruh perhatian serius pada radikalisme dan terorisme.
Untuk itu, Gerakan Suluh Kebangsaan menggelar diskusi kelompok terarah untuk memetakan persoalan radikalisme sekaligus membuat rencana strategis penanganannya.
Diskusi yang digelar di Jakarta, Jumat (16/8) malam itu mengundang 15 tokoh, di antaranya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamadiyah, Haedar Nashir, Komarudin Hidayat, Alwi Shihab, Salahuddin Wahid, dan Benny Susetyo.
“Kami mengundang Kepala BNPT agar kami mendapatkan informasi mengenai bagaimana peta sebenarnya yang ada di hadapan kita tentang gerakan terorisme dan radikalisme ini,” kata Mahfud.
Kepala BNPT, Suhardi Alius, menilai peran pemuka masyarakat sangat penting untuk memelihara perdamaian termasuk membantu mencegah beredarnya paham radikal teroris di masyarakat.
“Mereka yang bisa menjadi penyejuk di masyarakat jika terjadi perbedaan pandangan atau pilihan dan bisa memberikan pencerahan jika di lingkungan masyarakat terjadi upaya-upaya infiltrasi penyebaran paham radikal,” ujar Suhardi.
Menurut Suhardi, radikalisme dan terorisme adalah persoalan serius yang bisa mengancam keutuhan NKRI, dan memerlukan kepedulian bersama untuk menanganinya.
Bangsa ini, kata Suhardi, membutuhkan gerakan-gerakan di luar pemerintahan untuk berkontribusi dan memberikan informasi mengenai permasalahan radikalisme dan terorisme serta meluruskan kembali pandangan salah yang diembuskan kelompok radikal terhadap bangsa ini.
“Ini adalah tanggung jawab moral kita bersama, tanggung jawab kolektif. Tidak boleh lagi ada ‘silent majority’. Ketika melihat kesalahan, tentunya kita harus bersama-sama untuk mengoreksi,” kata Suhardi. (ant)
Editor: Hariyawan