“Sebenarnya, dalam politik kita kan tidak dikenal yang namanya oposisi,” katanya, saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Rabu (9/10/2019), menanggapi wacana Gerindra mendapat jatah menteri.
Tidak hanya Gerindra, kata dia, seandainya ada partai politik lain yang selama ini bersikap oposisi jika memang dimasukkan dalam kabinet juga tidak masalah.
Persoalan muncul, kata dia, sebenarnya karena ada pandangan bahwa harus ada oposisi yang ditafsirkan sebagai kekuatan yang berseberangan dengan pemerintah.
“Justru dengan bergabungnya oposisi ini menunjukkan sinyal politik yang positif. Tidak ada fragmentasi. Stabilitas politik dan sosial lebih mudah dijaga,” tuturnya.
Namun, kata dia, bukan berarti kemudian pemerintahan akan kehilangan kekuatan untuk melakukan check and balance, sebab masih ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Nah, bagaimana memfungsikan DPR untuk melakukan kontrol politik yang efektif,” ucapnya. Reza mengingatkan DPR juga jangan kemudian diidentikkan dengan adanya dua faksi, yakni mendukung atau berseberangan di dalam lembaga itu.
Maka dari itu, ia mengatakan fungsi kontrol politik di DPR bisa pula dilakukan oleh parpol-parpol yang sebelumnya mendukung presiden terpilih pada pemilu, atau kalangan parpol koalisi.
Pola seperti itu, kata dia, pernah terjadi saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika kritik justru banyak muncul fraksi-fraksi parpol pendukung pemerintah di DPR.
“Meskipun oposisi masuk ke kabinet, fungsi check and balance akan tetap jalan,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, kekuatan publik yang sekarang ini semakin kritis menyikapi berbagai kebijakan pemerintah sehingga menjadi kontrol efektif bagi pemerintah. (ant)