BANDUNG, bipol.co – Pengamat masalah terorisme, Prof. Obsatar Sinaga, menyatakan dilihat dari gerakannya, peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan dilakukan oleh JAD (Jamaah Ansharut Daulah).
“Gayanya begitu. Gerakannya rekrut orang untuk bergabung, kemudian mendoktrin dengan kecepatan tingi yang sifatnya menakut-nakuti, sehingga orang merasa harus berjihad dengan melakukan bunuh diri,” terang Prof. Obi –sapaan akrabnya—saat dihubungi bipol.co melalui telephone selulernya, Rabu malam (13/11).
Dikatakan Guru Besar FISIP Universitas Padjadjaran dan Rektor Universitas Widyatama Bandung ini, JAD selnya banyak. Ada di mana-mana, terutama di Indonesia ada di wilayah Barat dan Timur.
Dua tahun terakhir, kata Prof. Obi, sasaran JAD adalah petugas, polisi. Hal ini terkait dendam, karena kebijakan pimpinan Polri sebelumnya dengan perintah tembak mati bagi pelaku terorisme.
“Sekarang bergantung Kapolri baru, dengan mampu melakukan penetrasi harus persuasif. Jangan terpancing untuk tembak mati. Jangan sampai timbul banyak dendam dari istrinya, anak-anaknya, keluarganya. Dari karakternya, Kapolri sekarang enggak (menerapkan kebijakan tembak mati pada pelaku teririsme, Red),” tutur Prof. Obi.
Dikatakan Prof. Obi, berkat perkembangan teknologi, semua orang di Indonesia (WNI) kini pegang handphone. Polri harus memanfaatkan perkembangan teknologi di genggaman masyarakat ini dengan pola melibatkan rakyat semesta. Melalui media sosial, misalnya Polri membuat WA-Grup dengan masyarakatnya.
“Jadi jika ada jentik-jentik teror radikal atau criminal crime lainnya, masyarakat bias melaporkannya secara cepat melalui WA-Grup. Dengan demikian, akan tercipta pola pelibatan rakyat semesta” tutur penulis buku “Terorisme Kanan Indonesia” ini.
Persoalannya, kata Prof. Obi, apakah rakyat mau terlibat?
“Butuh waktu memulihkan trust masyarakat pada polisi. Perlu langkah panjang untuk mengubah image tidak baik yang ada pada polisi. Masyarakat perlu penetrasi, langkah-langkah gerakan panjang, untuk memutuskan mata rantai sikap apatis masyarakat. Bila sudah demikian, baru bisa terjadi pola pelibatan rakyat semesta,” paparnya.
Menurut Prof. Obi, bila semua masyarakat dilibatkan, mulai dari tingkat RT/RW yang aktif memberi laporan pada setiap gerakan mencurigakan, mereka (pelaku teror, Red.) tidak bisa hidup, atau bertobat, kemudian bergabung kembali ke masyarakat.
Dikatakan Prof. Obi, selain perlunya langkah refresif dengan pola melibatkan rakyat semesta, perlu langkah persuasif. Pada pelaku yang telah tertangkap, dilakukan deradikalisasi, bentuk kelompok kontraradikal agar masyarakat tidak terbawa-bawa.
Sementara itu, terkait pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD, yang mengatakan peristiwa bom bunuh diri di Polrestabes Medan itu akan menjadi pintu masuk untuk memberantas jaringan teror di wilayah tersebut, Prof Obi. tidak sependapat.
“Enggak juga. Dari dulu pelaku teror bom banyak yang sudah ditangkap. Apa mereka tidak bisa jadi pintu masuk? Apalagi ini pelakunya mati,” tegas Prof. Obi.
Hal yang dikhawatirkan Prof. Obi adalah dari peristiwa ini akan melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berlebihan. Ini berbahaya
“Berbahayanya, selama ini stigma aksi terorisme diidentikkan dengan Islam. Bagaimana kalau nanti mereka menyakiti masyarakat Islam? Ini yang berbahaya,” pungkas Prof. Obi.**
Editor: Hariyawan