JAKARTA, bipol.co-Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, orang-orang yang duduk di kursi Dewan Pengawas (Dewas) KPK merupakan manusia setengah malaikat yang telah selesai dengan urusan dunia. Mereka hadir di tengah sistem penegakan hukum di Indonesia untuk memupus ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi.
Pernyataan Ngabalin itu disampaikan pada forum Indonesia Podcast Show 02 yang diselenggarakan Radio Online pemudafm.com di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019). Menurut dia, pada diri Dewas KPK terdapat sifat-sifat kenabian yang proporsinya mencapai 30-50 persen. Ngabalin juga menyebutnya manusia setengah dewa.
Dewas KPK tersusun dari 5 orang dengan komposisi 1 ketua dan 4 anggota. Ngabalin yakin, nama-nama calon Dewas KPK yang sudah ada di kantong Presiden sudah sesuai dengan kriteria yang diharapkan publik.
Terkait siapa saja sosok yang layak menjadi Dewas KPK, dia memastikan, mereka berasal dari berbagai unsur. Salah satunya dari kalangan ahli dan pakar hukum.
Pada diskusi itu tampil pula sebagai narasumber Associate Director Kopi Politik Syndicate Todotua Pasaribu. Tampak hadir pula Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago dan pengamat hukum dari UIN Alaudin Makassar, Syamsuddin Radjab.
Irma mengatakan, masyarakat harus yakin dengan sosok-sosok Dewas KPK yang menurut Ngabalin sebagai manusia setengah malaikat atau setengah dewa. Anggota Dewas mestinya tidak mempunyai kepentingan untuk diri sendiri atas jabatannya itu, dia hanya mempunyai kepentingan untuk bangsa dan negara serta untuk penegakan hukum di Indonesia.
“Dewan Pengawas ini kan memang dibutuhkan agar KPK ke depan menjadi lebih baik, lebih transpraan, lebih diperkuat strukturnya, dan tidak masuk dalam perdebatan politik,” ujar Irma.
Mantan Anggota DPR ini mengusulkan nantinya Dewas KPK melakukan sinkronisasi, harmonisasi, dan koordinasi kinerja KPK dengan kejaksaan dan kepolisian. Di internal, Dewas KPK melakukan sinkronisasi kewenangan antar unit kerja, jangan sampai terjadi tumpang tindih yang berbuntut dengan lahirnya like dan dislike.
Sementara, Syamsudin Radjab sepakat dengan pengaturan Dewas dalam draf revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hanya saja, dia tidak sepakat jika dewan ini menjadi lembaga non-struktural dari KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (2) draf revisi UU KPK.
“Dewan pengawas jarus menjadi bagian dari struktur kelembagaan KPK. Dia menyatu. Kalau non-struktural jadinya akan melahirkan second opinion. Fungsi-fungsinya itu kan besar. Dia menyidangkan pimpinan yang melanggar etika. Mestinya bagian integral KPK,” kata Syamsudin.
Menurutnya, kalau Dewas merupakan lembaga non-struktural, hasil pengawasannya tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Keputusan yang dibuatnya hanya sebatas usulan atau masukan yang bisa dilaksankan atau tidak dilaksanakan oleh pimpinan atau pegawai KPK.
Terkahir, Todotua Pasaribu mengatakan di negara demokrasi, semua lembaga harus memiliki sistem pengawasan. Negara harus benar-benar hadir untuk memberikan suatu kepastian hukum bagi publik dalam kerangka penegakan hukum.
“KPK ini kan sebenarnya lembaga hukum yang sangat fenomoneal selama ini. Mereka memiliki banyak fungsi yang superbody yang popularitasnya melebihi lembaga hukum yang lain,” ujarnya.
Aktivis asal Universitas Trisakti ini menilai, keputusan untuk melakukan revisi UU KPK merupakan langkah yang tepat. Kehadiran Dewas KPK menunjukkan negara hadir dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Orang yang diindikasikan bersalah harus diberi keadilan. Banyak kasus di KPK yang sifatnya masih ngambang. Saya pikir fungsi pengawasan untuk KPK dapat memberikan kesempatan kepada KPK untuk lebih menyempurnakan tindakan dalam penanganan kasus korupsi,” kata Todotua.
Reporter Firdaus
Editor Deden .GP