Ketika tampil pada Talk Show on the Street dalam kegiatan Crime Prevention, Day, Making Indonesia 4.0 yang diselenggarakan oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI), mengemukakan hasil penelitian bahwa kerentanan itu tergantung pada latar belakang itu sendiri.
“Nah, sekarang yang banyak itu adalah pemuda dan juga kaum perempuan yang pada saat ini kerentanannya itu cukup signifikan. Hal seperti itu harus menjadi perhatian kita semua,” kata Brigjen Pol. Hamli.
Untuk itulah dirinya memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar sama-sama memahami apa itu terorisme, apa itu radikalisme dan apa itu intoleransi. Kalau masyarakat sendiri tidak paham mengenai hal tersebut, tentunya masyarakat tidak akan tahu apa yang harus dikerjakan. Setelah paham baru bersama-sama melakukan upaya pencegahan ini.
“Ini adalah langkah awal supaya masyarakat bisa mengetahui secara jelas. Ketika sudah paham masyarakat ini bisa melakukan pencegahan secara dini. Kalau sudah memahami, maka masyarakat juga ikut membantu pemerintah dalam rangka mencegah kejahatan itu, terutama kejahatan terorisme,” ujar alumnus Sepamilsuk ABRI tahun 1989 ini.
Direktur Pencegahan BNPT ini menjelaskan terorisme itu sendiri tentunya tidak bisa datang secara tiba-tiba hingga orang menjadi pelaku teror. Ibaratnya gunung es yang puncaknya adalah terorisme, lalu gunung es yang di bawah adalah intoleransi.
“Yang berbeda itu dianggap oleh mereka yang intoleran itu sebagai musuh. Itu masih pemikiran di kepala. Itu adalah ‘gunung es’ yang di bawah. Nah, ketika itu (pemikiran) mulai mengeras, kemudian bisa naik ‘pangkat’ jadi radikal teror,” kata alumnus Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini.
Ia menyebutkan ciri-ciri orang yang terpapar pemikiran radikal negatif, seperti bersikap intoleransi, anti terhadap Pancasila, anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka beranggapan negara kafir atau negara thogut.
Selain itu, lanjut dia, mereka juga suka mengafirkan orang lain dengan menyebarkan paham takfiri atau suka menyalahkan orang lain. Padahal, mengafirkan orang lain itu tidak diperbolehkan di dalam suatu agama.
“Agama apa pun bisa terjadi. Agama A menyalahkan Agama B demiklian pula sebaliknya agama B menyalahkan agama A. Jadi, itu indikasinya. Jadi, marillah kita semua meyakini agama Anda masing-masing. Akan tetapi, Anda juga meyakini dan menghormati agama orang lain yang menurut pemeluknya masing-masing adalah benar. Jadi, kita hormati saja,” ujar mantan Kabid Pencegahan Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri ini.
Mereka juga turut serta melakukan soialisasi kepada masyarakat terkait dengan pencegahan paham radikal terorisme dengan membagikan brosur dan mengajak serta masyarakat untuk mau berperan serta melakukan pencegahan melalui aplikasi Getar Media yang dikelola oleh Pusat Media Damai (PMD) BNPT.
Turut hadir dalam acara tersebut Ketua Harian LCKI Irjen Pol. (Purn.) Parman. S., Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Pol. Arman Depari, dan Direktur Pembinaan Ketertiban Masyarakat (Dirbintibmas) Korbinmas Baharkam Polri Brigjen Pol. Tajuddin. (net)