JAKARTA.bipol.co- Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, hanya menyarankan agar Wakil Menteri tidak merangkap jabatan, bukan memutuskan untuk melarang.
“Permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Namun, MK memang memberikan pendapat bahwa ketentuan rangkap jabatan yang berlaku terhadap menteri, seharusnya diberlakukan mutatis mutandis terhadap jabatan Wamen,” kata Dini dalam pesan singkatnya, Minggu (6/9/2020).
Dia menegaskan, pendapat MK tersebut sifatnya tidak mengikat karena bukan bagian dari putusan.
“Sebagai klarifikasi, pendapat MK ini sifatnya tidak mengikat. Karena bukan bagian dari keputusan MK,” jelas Dini.
Meski demikian, pemerintah akan mempelajari pendapat MK tersebut.
“Pemerintah akan memperhatikan dan mempelajari lebih lanjut pendapat MK tersebut,” kata Dini.
Sebelumnya, dalam pertimbangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak ada larangan seorang wakil menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta.
Meski demikian, haruslah jabatan wakil menteri ditempatkan sebagai pejabat layaknya seorang menteri.
“Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu,” demikian pertimbangan MK.
Adapun bunyi Pasal 23 UU 39 Tahun 2008 yakni; Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau, c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Namun, dalam putusannya, majelis hakim menolak gugatan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Novan Lailathul Rizky.
Adapun keduanya menguji Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, lantaran dilantiknya ke 12 wakil menteri pada sebelas kementerian pada 25 Oktober 2019, dipandang tidak memiliki urgensi yang jelas.
Dipandangnya, keberadaan jabatan wakil menteri saat ini bersifat subjektif tanpa adanya kedudukan, kewenangan, dan fungsi yang jelas dalam UU Kementerian Negara.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian bunyi putusan tersebut. [Net]
Editor: Fajar Maritim