BIPOL.CO, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengadukan semua komisioner KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat (21/4/2024).
Mereka mengadukan KPU RI karena dinilai mengabaikan sejumlah putusan pengadilan berkaitan dengan aturan 30 persen caleg perempuan pada Pileg 2024.
Pengabaian ini berdampak cukup fatal karena menimbulkan sengketa di daerah pemilihan (dapil) 6 Pileg DPRD Gorontalo. Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengabulkan gugatan PKS itu untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU).
“Kami menuntut para penyelenggara ini dinyatakan melanggar kode etik,” kata perwakilan koalisi dari NETGRIT, Hadar Nafis Gumay, kepada wartawan di kantor DKPP, dilansir Kompas.com.
“Kemudian, tiga orang pimpinan, Ketua KPU (Hasyim Asy’ari), kemudian Pak Idham Holik sebagai Ketua Divisi Teknisnya, Pak Mochamad Afifuddin sebagai Ketua Divisi Bidang Hukumnya untuk dijatuhkan sanksi maksimal, diberhentikan sebagai anggota KPU, kemudian anggota yang lain diberikan peringatan yang keras,” jelas dia.
Eks anggota KPU RI itu meyakini, dengan putusan seperti yang mereka minta, penyelenggaraan pemilu berikutnya dapat lebih diharapkan.
Sebab, tanpa aturan KPU yang tidak pro afirmasi caleg perempuan, seharusnya ada 267 caleg perempuan lebih banyak dalam surat suara Pileg DPR RI 2024.
“Jika ditotal dengan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, jumlahnya bisa lebih dari 8.000 (caleg perempuan yang seharusnya masuk surat suara),” kata Hadar.
Sebelumnya, koalisi yang sama juga pernah mengadukan Hasyim Asy’ari cs ke DKPP setelah membuat aturan “pembulatan ke bawah” yang menyebabkan jumlah caleg perempuan diprediksi merosot signifikan pada Pileg 2014. Namun, ketika itu pemungutan suara belum digelar.
Putusan DKPP waktu itu menjatuhi semua komisioner KPU RI dengan teguran keras terkait tindakan KPU mengabaikan kewajiban afirmatif untuk caleg perempuan.
Duduk perkara
Ketika pendaftaran caleg dibuka 1-14 Mei 2023, melalui Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, KPU menyatakan bahwa 1 perempuan dari 4 caleg yang diusung memenuhi hitungan 30 persen.
Pasal itu mengatur soal mekanisme pembulatan ke bawah untuk menghitung 30 persen jumlah caleg perempuan.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 4 kursi, maka hitungan jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya akan menghasilkan angka 1,2. Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 4 caleg di dapil itu cukup hanya 1 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 1 dari 4 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 UU Pemilu. Ini kemunduran serius, karena sebelumnya, berapa pun angka desimal selalu dibulatkan ke atas dalam rangka memenuhi afirmasi keterwakilan caleg perempuan.
Pasal ini belakangan dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 29 Agustus 2023, ketika partai politik kadung mengusulkan daftar calegnya ke KPU untuk diverifikasi.
MA mengembalikan mekanisme pembulatan ke atas. Sehingga, hitungan keterwakilan caleg perempuan dari 4 kursi yang ada minimum 2 orang.
Namun, KPU tak merevisi aturan yang dibatalkan MA, termasuk mengatur bagaimana kepastian hukumnya karena partai politik kadung mendaftarkan bakal caleg sebelum MA mengubah aturan.
Belakangan, berdasarkan laporan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menyatakan KPU melakukan pelanggaran administratif berkaitan dengan situasi ini.
DKPP juga menyatakan semua komisioner KPU RI melakukan pelanggaran etika terkait hal ini, juga atas aduan dari pihak yang sama. Namun, KPU bergeming. Pada akhirnya, 2 putusan lembaga penyelenggara pemilu di atas juga menjadi salah satu pertimbangan MK menyatakan KPU “bersalah”.
Pertimbangan MK
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa kuota 30 persen harus dipahami sebagai bentuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota agar menjamin dan memberi peluang keterpilihan lebih besar kepada perempuan dalam suatu pemilu.
Dengan bertambahnya jumlah anggota legislatif perempuan diharapkan mampu mewakili kepentingan kaum perempuan yang tidak selalu bisa diwakili oleh anggota legislatif laki-laki.
“Dalam konteks itu, syarat keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota merupakan hal yang harus diperjuangkan sebagai salah satu amanah konstitusi guna mencapai kesetaraan dalam pembangunan bangsa secara menyeluruh,” ujar Saldi.
Saldi menegaskan, putusan MA yang membatalkan PKPU soal pembulatan ke bawah hitungan kuota caleg perempuan seharusnya dapat langsung ditindaklanjuti oleh KPU maupun partai politik peserta pemilu. Baik KPU maupun partai politik peserta pemilu dianggap memiliki cukup waktu untuk memperbaiki daftar calonnya sebelum penetapan DCT.
“MK menilai KPU “secara sengaja mengabaikan Putusan MA”, yang menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan keterwakilan perempuan dan tidak sejalan dengan politik hukum menuju keadilan gender.
KPU sebagai institusi negara, lanjut Saldi, semestinya paham dan patuh putusan pengadilan yang inkrah.
Akibat pengabaian ini, jajaran KPU di daerah nekat tetap menetapkan DCT partai politik yang tak memenuhi kuota 30 persen keterwakilan caleg perempuan, sebagaimana dilakukan KPU Gorontalo.
“Ke depan, untuk pemilu-pemilu berikutnya, bagi dapil yang tidak memenuhi syarat minimal 30 persen calon perempuan, KPU memerintahkan kepada partai politik peserta pemilu untuk memperbaiki daftar calon,” ujar Saldi.
“Jika tetap tidak terpenuhi, KPU harus mencoret kepesertaan partai politik tersebut dalam pemilu pada dapil yang bersangkutan,” tegas dia.(*)