“Pengumuman penetapan tersangka sesudah penangkapan sesuai dan sama sekali tidak bertentangan mandat putusan MK No.130/2015, tanggal 11 Januari 2017,” kata Indriyanto melalui keterangannya di Jakarta, Jumat (8/5) malam.
Menurut Indriyanto yang juga eks Plt Pimpinan KPK itu, pengumuman status tersangka setelah adanya penangkapan tersebut memiliki legitimasi hukum yang akuntabel dan sesuai dalam garis-garis etika pro justitia.
“Ini hanya persepsi opini dan mekanisme transparansi saja. Bagi saya, pengumuman sebelum atau sesudah penangkapan tetap mencerminkan prinsip transparansi, akuntabel, dan masih dalam batas-batas etika pro justitia,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan proses pencarian buronan kasus korupsi baik di era Firli Bahuri cs maupun era pimpinan KPK sebelumnya, tetap menjadi prioritas keseimbangan antara pencegahan dan penindakan KPK.
“Sama sekali tidak menunjukkan lemahnya kinerja Firli. Ini soal pola, upaya, dan metode penindakan korupsi. Proses hukum bagi DPO (Daftar Pencarian Orang) tetap berlanjut secara pro justitia,” ujar Indriyanto.
Ia menjelaskan dalam sistem hukum pidana baik “common law” maupun “civil law” disebut bahwa sebenarnya proses pro justitia penyelidikan dan penyidikan adalah “strictly closed and confidential”.
“Karena memang potensial adanya pihak lain (calon tersangka) yang bisa melarikan diri atau menghilangkan atau menyamarkan alat bukti sebelum diumumkan penetapan tersangka,” ungkap Indriyanto.
Oleh karena itu, ia menganggap relevan jika pengumuman penetapan tersangka oleh KPK dikaitkan dengan potensi pelaku kejahatan korupsi tersebut melarikan diri.
“Jadi, memang akan selalu ada potensi perbuatan ilegal dari pihak yang memiliki kaitan dengan tipikor (tindak pidana korupsi). Jadi, memang selalu ada kaitan yang relevan antara pengumuman sebelum penetapan tersangka dengan pihak yang berpotensi tersangka yang akan melarikan diri tersebut,” kata Indriyanto.
Terhitung sejak kepemimpinan Firli Bahuri cs ada lima tersangka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yakni mantan caleg PDIP Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Selanjutnya Rezky Herbiyono, swasta atau menantu Nurhadi, Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto, dan pemilik perusahaan pertambangan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan.
Nawawi menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi adalah empat orang tersebut kecuali Harun Masiku diumumkan terlebih dahulu penetapannya sebagai tersangka.
“Dari kelima DPO terkecuali si Harun Masiku yang merupakan hasil OTT, para tersangka diumumkan terlebih dahulu penetapannya sebagai tersangka dan sejak pengumuman status tersangka tersebut, terkadang memakan waktu yang lama baru tahapan pemanggilan terhadap mereka,” tuturnya.
Hal tersebut, kata dia, yang menjadi “ruang” bagi para tersangka tersebut untuk melarikan diri.
KPK pun, kata dia, mencoba mengevaluasi dan membenahi dengan memulai model bahwa saat pengumuman status sebagai tersangka maka tersangka sudah ditangkap terlebih dahulu. (net)