Sebelumnya, pelaksana kegiatan diskusi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM mendapatkan ancaman teror akan dibunuh oleh orang tak dikenal.
Otto menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi utusan UGM mengikuti diskusi dalam acara peringatan Konferensi Asia Afrika yang diadakan Universitas Padjajaran pada tahun 1979 di Bandung.
Ia ketika masih menjadi mahasiswa pernah diutus oleh Rektor UGM Prof. Sukaji Ranuwihardjo mewakili UGM menghadiri acara diskusi di Unpad Bandung pada acara peringatan KAA di Bandung.
“Bahkan, saya dibiayai oleh universitas dengan memberikan biaya tiket kereta api, padahal rektor tahu kita mahasiswa tetap saja kritis terhadap pemerintah pada waktu itu. Artinya, universitas sangat menghormati kebebasan berpendapat dan mendorong kreativitas mahasiswa dalam menuntut ilmu,” kata Otto.
Lebih lanjut Otto menegaskan bahwa kepolisian harus cepat bertindak mengungkap para pelaku teror tersebut karena dapat merusak citra Pemerintah dan dapat mencederai hukum dan keadilan.
“Ini kalau tidak diungkap cepat akan merugikan nama baik pemerintahan Presiden Jokowi dan kepolisian, terlebih lagi pola terornya juga sama dengan teror terhadap wartawan. Apakah itu dilakukan oleh pihak yang sama? Ini perlu diusut,” kata Otto.
Menurut Sigit, ancaman itu muncul sehari sebelum pelaksanaan kegiatan diskusi, yang rencananya digelar pada tanggal 29 Mei 2020.
“Pada tanggal 28 Mei 2020 malam, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan, pembicara, moderator, serta narahubung. Berbagai teror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta ketua komunitas CLS,” ungkap Sigit Riyanto dalam keterangan tertulis sebelumnya.
Bentuk ancaman yang diterima beragam, mulai dari pengiriman pemesanan ojek daring ke kediaman penerima teror, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka. (net)