JAKARTA,bipol.co – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghentikan dan mempublikasikan 635 entitas fintech “peer to peer” (P2P) lending tanpa izin OJK atau ilegal hingga awal tahun ini.
“Saat ini jumlah fintech ilegal yang telah kita umumkan dan hentikan sebanyak 635 fintech ilegal. Kemarin kita juga membahas dalam rapat satgas bahwa ada 168 fintech lagi yang akan kita publikasikan, dan semua itu akan kita blokir di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),” kata Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing kepada wartawan di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Dia menjelaskan bahwa berdasarkan deteksi servernya, kebanyakan server fintech-fintech ilegal tersebut berasal dari Indonesia, kemudian dari Amerika Serikat, Singapura, China dan Malaysia.
“Modusnya memang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat tanpa memedulikan aturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi mereka membuat aplikasi di situs, appstore gawai tanpa memiliki izin atau terdaftar di OJK,” tutur Tongam.
Dia menambahkan bahwa kegiatan fintech-fintech ilegal ini sangat merugikan masyarakat, karena fintech ilegal itu seolah-olah memberikan kemudahan namun ternyata menjebak korbannya dengan bunga dan denda yang tinggi, jangka waktu yang singkat, menyalin daftar kontak yang kemudian dipergunakan untuk mengintimidasi atau meneror korbannya kalau tidak mau melunasi
pinjamannya.
Dalam presentasinya di seminar yang digelar Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada hari ini, Satgas Waspada Investasi menjelaskan bahwa alasan banyaknya fintech ilegal di Indonesia karena pelaku mudah membuat aplikasi dan permintaan yang sangat besar dari masyarakat.
Jumlah fintech P2P lending ilegal saat ini mencapai 635 entitas, sedangkan fintech P2P lending yang saat ini terdaftar di OJK berjumlah 99 perusahaan.
Sebelumnya AFPI telah menerima 426 pengaduan yang mengadukan 510 platform fintech P2P lending selama periode Januari – Maret 2019.
Dari 510 platform yang diadukan tersebut, 70 persen di antaranya merupakan fintech yang tidak terdaftar di OJK atau ilegal, sedangkan 30 persen lainnya merupakan anggota AFPI.
Sedangkan berdasarkan kategori dari beberapa aduan tersebut, terkait aduan mengenai akses data pribadi sebesar 41 persen, terkait dengan keluhan penagihan kasar yakni 43 persen, kalau mengenai bunga dan denda yakni 10 persen.[ant]