JAKARTA.bipol.co – Pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN) dan istrinya Itjih Nursalim (ITN) kembali tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (19/7/2019), untuk diperiksa sebagai tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Jadi, sampai sore tadi dua tersangka ini tidak hadir. Sebelumnya panggilan sudah kami buat dan kami sampaikan ke lima lokasi, ada empat lokasi di Singapura dan juga satu lokasi di Jakarta,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta.
Sjamsul dan Itjih merupakan tersangka kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Untuk empat lokasi di Singapura, kami meminta bantuan KBRI setempat dan juga meminta bantuan CPIB (lembaga antikorupsi Singapura) di sana bahkan sudah dilakukan penempelan (surat) panggilan tersebut di papan pengumuman di KBRI,” ucap Febri.
Pemanggilan pada Jumat ini merupakan yang kedua setelah sebelumnya dua tersangka tersebut juga tidak memenuhi panggilan pada Jumat (28/6).
“Jadi, setelah tidak hadir dalam dua kali pemanggilan, ini pemanggilan sebagai tersangka yang kedua. Pemanggilan sebagai tersangka yang pertama juga sudah kami lakukan, tim sedang membicarakan lebih lanjut apa langkah berikutnya yang akan kami lakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku,” ujar Febri.
Untuk diketahui, dua tersangka tersebut saat ini berada di Singapura. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.
Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) ke empat alamat, yaitu 20 Cluny Road, Giti Tire Plt. Ltd (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West 9 Oxley Rise The Oaxley, dan 18C Chatsworth Rd.
KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019. Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan “Financial Due Dilligence” (FDD) dan “Legal Due Dilligence” (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ant)
Editor Deden .GP