Kekeliruan pemberitaan tidak boleh menjadi alasan adanya intimidasi, kekerasan, teror, bahkan ancaman pembunuhan terhadap manusia.
“Tindakan keji itu tak boleh dibiarkan. Forum Pemred mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk memproses pelaku teror dan bahkan ancaman pembunuhan terhadap wartawan detikcom,” kata Ketua Forum Pemred Kemal Gani di Jakarta, Jumat (29/5).
Sejak Selasa (26/5), salah seorang wartawan detikcom mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh. Itu terjadi karena jurnalis itu menjalankan profesinya sebagai wartawan dan menulis berita tentang salah satu kegiatan Presiden Joko Widodo.
Jika belum puas dengan cara itu, masyarakat juga bisa mengadukan permasalahan kepada Dewan Pers.
“Semestinya masyarakat menempuh mekanisme hak jawab sesuai dengan UU Pers No. 40/1999. Jurnalis dan pers tentu tidak luput dari kesalahan. Namun, kekeliruan pemberitaan jelas tidak boleh menjadi alasan adanya intimidasi, kekerasan, teror, bahkan ancaman pembunuhan,” ujar Kemal.
Tindakan mengintimidasi, doxing, teror, bahkan melakukan ancaman pembunuhan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan kepada siapa pun. Terlebih, wartawan dalam pekerjaannya dilindungi oleh undang-undang.
Di dalam Pasal 18 UU No. 40/1999 menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang menghalangi kebebasan pers, termasuk mengintimidasi wartawan, adalah perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, aparat penegak hukum harus menegakkan hukum dengan adil sebab kebebasan pers dibuat juga untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Demokrasi berjalan dengan adanya mekanisme check and balances yang dijalankan publik dan media massa untuk memastikan akuntabilitas pemerintah di dalam melayani kepentingan publik.
“Tindakan pelaku selain mencederai kemerdekaan pers, juga mengkhianati kehidupan demokrasi di Tanah Air. UU Pers dibuat supaya ada kepastian koreksi dapat dilakukan dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers,” ujar Kemal.
Bila ada berita yang dianggap salah, pihak yang berkeberatan boleh melakukan koreksi melalui jalur yang sudah ada, yaitu dengan mengirimkan permintaan hak jawab ke media bersangkutan.
“Jika tidak memperoleh tanggapan seperti diharapkan, dapat mengadukan masalahnya ke Dewan Pers. Bukan lewat pengerahan buzzer dan intimidasi di media sosial,” kata Kemal. (net)