BIPOL.CO, PEKALONGAN — World Sufi Assembly (WSA) atau Multaqo Sufi Al-Alami (Konferensi Sufi Internasional) atau Muktamar Majelis Sufi Internasional ke-2 telah resmi ditutup, di Sahid Convention Center, Kota Pekalongan, Kamis (31/8/2023).
Majelis Sufi Dunia mengadakan Muktamar di Kota Pekalongan dengan tema ‘Karya Sufisme Kontemporer di Dunia yang Dinamis’ para ulama dan peneliti menyampaikan paparan dan rekomendasi dalam 4 tema dan 8 sesi.
Konferensi ulama sufi yang dimulai 29-31 Agustus tersebut diikuti 31 negara dan 57 ulama dari luar negeri.
Sementara itu Maulana Habib Lutfi bin Yahya terpilih sebagai Ketua Majelis Sufi Dunia.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga menghadiri penutupan Muktamar Sufi Internasional ini. Pada kesempatan tersebut, Ridwan Kamil menggunakan kemeja dan jas putih dengan sarung berwarna biru muda.
Forum Muktamar tersebut menghasilkan rekomendasi yang meliputi beberapa aspek pendidikan, perilaku, prestasi, pembangunan, pertanian dan kemandirian. Seluruh rekomendasi dibacakan oleh Wakil Ketua Persatuan Sufi Dunia Syekh Riyadh Hassan.
Hal yang paling difokuskan dalam pertemuan tersebut ialah menyerukan tarekat sufi agar berkontribusi dalam bidang pendidikan.
Maka dari itu Ketua Majelis Sufi Dunia Maulana Habib Lutfi Bin Yahya mengajak para ulama untuk menyelamatkan ajaran ahlussunnah wal jamaah (aswaja) di belahan dunia dan ini pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan dengan segera dan secara masif.
“Belajar dari sejarah Bani Umaiyah, Bani Abbasiyah dan seterusnya yang lebih memikirkan masalah politik dinasti yang berakibat pada tertinggal di bidang ekonomi. Jika melihat Indonesia yang tanahnya gemah ripah lohjinawi bisa menjadi benteng pertahanan dan ketahanan nasional dengan membangun ekonomi, pertanian, perguruan tinggi, hingga pesantren agar kuat,” tutur Habib Lutfi bin Yahya.
Ia pun berharap agar ajaran aswaja an-nahdliyyah tidak hanya berkembang di Nusantara saja, tapi bisa menyebar ke berbagai negara belahan dunia.
“Perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari (pendiri NU, red) untuk menanamkan nilai-nilai aswaja di zaman penjajahan sangat luar biasa yang mana saat itu sudah mulai muncul paham atau akidah yang tidak sejalan,” pungkasnya.(ads)