BIPOL.CO, BANDUNG – Anggota DPRD Kabupaten Bandung, Maulana Fahmi, menyoroti masalah bullying yang kerap terjadi belakangan ini dilakukan siswa. Ini kata Fahmi menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah Kabupaten Bandung, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung. yang perlu dibenahi agar kasus semacam itu tidak terjadi.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung ini, menilai masih banyak yang perlu dibenahi Dinas Pendidikan, terutama soal komonikasi antara orang tua dan sekolah.
Fahmi mengatakan, selain soal komonikasi, PR di dunia pendidikan itu mulai dari kurikulum, kualitas lulusannya dan tenaga pengajarnya, fasilitas, infrastruktur, kemudian admimistrasinya.
“Semua itu merupakan PR besar yang dituntut agar segera dibenahi dan diperbaiki oleh Pemkab Bandung dan Dinas Pendidikan,” kata anggota dewan dari Fraksi PKS ini, di Soreang, Senin.
Fahmi menyampaikan, rasa prihatin dengan penomena terjadinya bully di sekolah dan mengarah pada ganti rugi tuntutan kepada guru atau pengajar yang sudah memberikan hukuman kepada siswa sebagai bentuk kedisiplinkan atau mengajar.
“Sungguh hal ini jangan sampai terjadi di Kabupaten Bandung juga wilayah lainnya. Bahkan saya berkeinginan melakukan mitigasi mengenai fenomena anak saling membully, melakukan kekerasan kepada sesama temannya,” katanya.
Fahmi mengaku beberapa waktu lalu pernah bicara sebuah sistem tentang apa yang harus dilakukan anak, sebaliknya guru juga melakukan apa, semestinya hal itu bisa terkonversi yang diimplemetasikan melalui pelatihan-pelatihan dan sosialisasi kalau sistemnya sudah ada.
Mengenai orang tua siswa melaporkan guru dengan alasan sudah menghukum siswa, menurut Fahmi, kalau ranah hukum bukan merupakan kewenangannya. Namun antara guru dan orang tua siswa mindsetnya harus sama dan satu tujuan.
Untuk menyamakan mindset itu, lanjutnya, adalah tugas bersama, bahwa anak itu di didik bukan dititpkan di sekolah tanpa ada ikatan emosional yang dibangun, bahwa anak dididik di rumah merupakan tanggung jawab orang tuanya, sementara di sekolah menjadi tanggungjawab para guru atau sekolah,i.
“Bisa jadi permasalahan persamaan persepsi itu terbentur karena para guru over reaktif yang tidak profesional dalam mendidik anak, sehingga ada terjadi perbedaan pemahaman karena mindsetnya tidak sama yang bisa memicu terjadinya kesalah pahaman,” ujarnya.
Padahal ada Komite Sekolah dan Forum Orang Tua Siswa yang dijelaskan Kang Fahmi, bisa memediasi permasalahan yang terjadi di sekolah. Karena tugas dari komite sekolah itu adalah mitra kerja sekolah seperti halnya DPRD dan Pemkab Bandung termasuk wartawan.
Fahmi menyayangkan, Komite Sekolah hanya bertemu pihak guru atau sekolah tidak ada interaksi. Kalau pun terjadi terjadi pertemuan hanya saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan kegiatan kelulusan siswa. Disinilah perlunya ada komunikasi antar Komite dan Sekolah dengan memberikan saran juga sumbangsih pemikiran ke sekolah. Tidak dipungkiri kalau kurikulum sekolah sudah mengalami beberapa kali perubahan, dari DDBA menjadi CBSA dan KTSP menjadi Kurikulum Merdeka yang mengundang pro dan kontra.
Namun Fahmi mengatakan tidak mau lebih jauh mengenai hal itu, dan ia harap lebih baik fokus pada daerah tentang bagaimana memiliki lulusan pendidikan yang berkualitas bisa berdaya saing dengan daerah lain, yang merupakan PR yang harus dilakukan pemerintah dan Dinas Pendidikan.
Fahmi berharap, terbangunnya kekeluargaan bergotongroyong, termasuk para guru atau tenaga kependidikan, harus profesional dalam memberikan pengajaran. Para guru harus terus dilatih bagaimana dalam memberikan pembelajaran bisa proporsional.
“Konsep kita bikin aja mitigasi bully, bagaimana mencegah bully, bagaimana ketika terjadi, bagaimana menolak bully, dan bagaimana memberikan saran kepada orang tua siswa dan anak, agar peristiwa itu tidak terulang kembali,” jata Fahmi.(ads)