“Sejauh ini belum ada desa fiktif,” kata Abdul Halim di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (8/11). Sebelumnya pada Senin (4/11) Menkeu Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR mengatakan muncul desa baru yang tidak berpenduduk hanya untuk mendapatkan dana desa.
“Harus kita samakan dulu persepsi, pemahaman fiktif itu apa karena kalau yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang tidak ada kemudian dikucuri dana dan dana tidak bisa dipertanggungjawabkan, itu tidak ada. Karena desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan iya, pertanggungjawaban ada, pencairan juga ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif namanya bagaimana,” tambah Abdul Halim.
Alokasi dana desa diketahui terus meningkat, yakni Rp20,67 triliun pada 2015, Rp46,98 triliun pada 2016, Rp60 triliun pada 2017, Rp60 triliun pada 2018, Rp70 triliun pada 2019 hingga Rp72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia.
“Sudah kita telusuri semua sesuai dengan tupoksinya Kemendes sudah kita telaah dan memang kita temukan laporannya ada tahapan satu, dua, tiga. Dana desa setahun itu dievaluasi dua kali. Pertama 20 persen, setelah selesai laporan 40 persen, tidak akan turun itu kalau laporan tidak selesai,” ungkap Abdul Halim.
Menurut Halim, ia pun sudah melaporkannya kepada Menkeu Sri Mulyani. “Sudah kita laporkan,” tambah Halim.
Sebelumnya Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan diduga ada 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sementara 31 desa meski keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur (back date).
Saat desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kementerian Dalam Negeri sehingga, untuk mendapatkan dana desa, tanggal pembentukannya harus dibuat mundur.
Desa yang terus mendapat kucuran dana, meski diketahui bermasalah, ialah Desa Ulu Meraka di Lambuya, Desa Uepai dan Desa Moorehe di Uepai. Meski demikian, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe menjamin anggaran dana desa yang telah disalurkan Pemerintah Pusat ke daerah tidak disalurkan ke ketiga desa itu.
Desa-desa tersebut diidentifikasi tidak sesuai prosedur karena menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas dana desa dan alokasi dana desa yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016 sampai 2018.
Pada 24 Juni 2019, Febri menjelaskan, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara di tahap penyelidikan di Markas Polda Sulawesi Tenggara, selanjutnya dilakukan pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam.
Sedangkan berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa ada empat desa yang diduga fiktif di Sulawesi Tenggara berdasarkan pemeriksaan tim pada 15-17 Oktober 2019 di provinsi tersebut.
Berdasarkan hasil komunikasi dengan Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa, keempat desa yang diduga fiktif tersebut sudah tidak menerima alokasi dana desa. Dana desa tidak digelontorkan lagi sejak 2017.
Namun terkait hasil pemeriksaan KPK dan Kemendagri tersebut, Halim membantahnya.
“(Tidak ada desa fiktif), termasuk di Konawe, (dana desa) di sana ada pertanggungjawabannya,” ungkap Hakim. (ant)