Pemilu Terberat

- Editor

Kamis, 25 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAUH hari sebelum pemilu 17 April 2019, saya diminta menjadi petugas KPPS oleh salah seorang pamong desa, di tempat saya tinggal. Dia mengatakan sekali-kali saya harus mencoba mengurusi tempat pemungutan suara saat pemilu. Sebelumnya sama sekali tak kepikiran untuk menjadi anggota KPPS. Biasanya hal itu selalu luput dari aktivitas saya saat pesta demokrasi digelar.

Tiap kali Pemilu, aktivitas selalu dihabiskan dengan liputan dari TPS ke TPS, KPU, atau Bawaslu. Atau mengikuti konprensi pers yang digelar partai atau calon gubernur, calon bupati dan bahkan timses presiden. Begitu aktivitas rutin yang biasa dijalani setiap pemilu dan pilkada selama 22 tahun menjadi wartawan.

Kali ini lain. Saya kepikiran juga untuk mencoba menjadi anggota KPPS, seperti yang diminta tetangga itu. Beberapa hari setelah obrolan tersebut, saya mengiyakan dan menyanggupi pekerjaan tersebut. Selama ini saya merasa memberitakan tentang pelaksanaan pesta demokrasi, namun tak berbuat apa-apa untuk demokrasi di negeri ini.

Sama dengan yang lain, dalam pikiran, saya pun ingin memberi sesuatu yang baik bagi negara. Paling tidak untuk menegakan demokrasi, yang diwujudkan dalam pemilu. Saya mengambil formulir dan mengisi, dan langsung daftar ke pemerintahan desa.

Alhamdulillah, permohonan dan formulir saya diterima. Saya dan enam orang lainnya harus menyiapkan diri menjadi anggota KPPS. Namun karena pekerjaan, saya tak banyak banyak ikut dalam proses awal pembentukan sampai pelantikan KPPS. Tapi saya diberi tahu harus siap sehari sebelumnya pelaksanaan pemungutan suara dan pada waktu pencoblosan.

**

HARI pencoblosan tiba. Petugas KPPS diminta jam 06.00 WIB sudah ada di TPS. Pukul enam kurang sepuluh menit saya sudah siap di lokasi. Mengenakan kemeja batik, celana kain, seperti diinstruksikan ketua KPPS sebelumnya.

Pukul 07.00 WIB tempat pemungutan suara dibuka. Enam petugas KPPS disumpah terlebih dahulu, sebelum kotak suara dibuka dan dikeluarkan isinya.

Saya bertugas menjadi KPPS 3. Tugasnya menerima undangan format C6, memisahkan laki-laki dan perempuan, dan membantu menulisi formulir surat suara, lalu menyerahkan kepada Ketua KPPS untuk ditandatangan dan memanggil pemegang C6.

Sejak pagi pekerjaan ini cukup menyita waktu. Dari mulai dibuka pada pukul 07.00 WIB sampai ditutup tak diberi waktu lenggang. Peserta terus berdatangan. Jumlahnya cukup banyak, sekitar 280 orang. Namun yang datang sebanyak 267 orang.

Selesai pemungutan suara, sedikit punya waktu untuk istirahat, shalat, dan makan siang. Kurang lebih 30 menit. Jika pulang dulu ke rumah, saya yakin tak cukup. Belum harus menyeting ulang meja dan bor untuk melakukan penghitungan. Beruntung sebelumnya diberi bekal nasi oleh orang rumah untuk makan siang.

Setelah cukup untuk ishoma dan setting ruangan, penghitungan suara dimulai. Pemilihan Presiden dan wakil presiden pertama kali dihitung. Dalam penghitungan ada sedikit perbedaan jumlah suara dan DPT. Selisih satu.
Kami kebingungan. Kemudian menelusuri dimana gejlok-nya. Semua diperiksa. Surat suara yang telah terpisah dihitung. Jumlahnya sama dengan penghitungan, 267. Sementara jumlah DPT 268. Hilang satu!

Saksi-saksi pun diam. Hitungan mereka sama; surat suara 267. Salah satu anggota KPPS memeriksa daftar hadir. Lalu diketahui, ada warga yang salah menulis urutan angka. Dari urutan nomor 176 meloncat ke 178. Mestinya ke nomor 177 dulu. Dengan demikian suara dan DPT cocok; 267 pemilih.

Penghitungan dan pencarian satu surat suara memerlukan waktu cukup lama, ternyata. Belum lagi harus menyalin ke dalam formulir C1 dalam ukuran kertas folio, atau break waktu shalat ashar.

Hampir pukul 17.00 WIB penghitungan berikutnya baru bisa dimulai. Kali ini surat suara DPR RI. Kami kerepotan memasang formulis C1-Plano yang banyak, sebanyak 16 lembar. Kami ambil satu lagi papan tulis untuk menjadi tempat penempelan formulir C1 Plano.

Proses ini sangat lama. Saat adzan Magrib penghitungan masih berjalan. Sebelumnya sepakat shalat dilakukan secara bergantian. Penghitungan terus berjalan. Masih panjang dan tak bisa dilakukan dengan cepat.

Kami harus cermat menghitung suara partai dan suara caleg dengan benar. Plano yang dijajarkan sebanyak 16 lembar, membuat saya yang menuliskan suara di plano harus berjalan hilir-mudik. Tak bisa cepat seperti suara presiden yang hanya dua calon.

Yang lebih lama, saat surat suara bersih tak ada coblosan. Kami harus mendekatkan surat suara ke saksi yang hadir, untuk meyakinkan tak ada lobang bekas paku.  Penghitungan surat suara tak urung kami selesaikan satu demi satu. Dengan waktu yang sangat panjang. Satu jenis surat suara memerlukan waktu sedikitnya 3 jam lebih, termasuk penghitungan dan penyalinan C1. Untuk pileg dan pemilihan anggota DPD lebih banyak lagi penyalinannya. KPP harus menyalin sebanyak 16 partai, jumlah satu berkasnya dikalikan lima lembar.

Saat kondisi sudah lelah, ngantuk, dan segalanya menjadi satu, konsentrasi mulai pecah. Adakalanya menghitung surat suara lebih karena jumlahnya 268. Penghitungan tak bisa dimulai karena lebih dari jumlah DPT. Maka dihitung kembali, jumlahnya tetap sama; 268. Sampai empat orang yang menghitung; jumlahnya sama 268.

Karena selalu lebih, kami lalu mencoba memisahkan satu surat suara dari tumpukan yang akan dihitung. Setelah diberes, direkap perolehan suara perpartai dan caleg, lalu dihitung kembali. Anehnya, jumlah suara menjadi berkurang satu lembar. Semua yang berhitung kembali menunjuk surat suara yang dipisahkan tadi. Mungkin semuanya lelah, sehingga semua pun salah menghitung!

Pasca terhitung semua dan rekapnya selesai disalin, kami pulang sekitar pukul 06.00 WIB. Salah seorang KPPS berseloroh, “Pergi Pagi, pulang pagi.”

**

INI memang pemilu yang terberat. Anggota KPPS harus menyelesaikan beban yang sangat besar. Dari pagi hingga pagi. Bahkan harus dibayar dengan puluhan anggota KPPS lain di tanah air yang meninggal dunia.

Anehnya, banyak yang menyebut KPU dan perangkat ke bawahnya curang. Padahal mereka sudah berjuang untuk tegaknya demokrasi di negara ini.  Ude D Gunadi

Berita Terkait

Pajak untuk Hadiah Pribadi dari Luar Negeri, Apakah Ini Adil?
ASN, Haruskah Kita Percaya Lagi?
Sosok Pemimpin KBB ke Depan, Bagaimana Parpol?
Refleksi, Memasuki Abad ke-4 Kabupaten Bandung Mestilah Jujur
Tiga Tahun Menjadi Bupati: Sebuah Refleksi Diri
Dari SITUNG ke SIREKAP, Rekapitulasi Pemilu Berujung Penjara?!
Menakar Kinerja Pj Bupati Bandung Barat
Dari Jalan Hingga Pemakaman, 40 Wajah-wajah Baru Anggota DPRD Kabupaten Bandung

Berita Terkait

Sabtu, 10 Agustus 2024 - 23:39 WIB

Pajak untuk Hadiah Pribadi dari Luar Negeri, Apakah Ini Adil?

Sabtu, 27 Juli 2024 - 15:13 WIB

ASN, Haruskah Kita Percaya Lagi?

Jumat, 28 Juni 2024 - 12:53 WIB

Sosok Pemimpin KBB ke Depan, Bagaimana Parpol?

Rabu, 1 Mei 2024 - 10:40 WIB

Refleksi, Memasuki Abad ke-4 Kabupaten Bandung Mestilah Jujur

Jumat, 26 April 2024 - 22:39 WIB

Tiga Tahun Menjadi Bupati: Sebuah Refleksi Diri

Berita Terbaru

BAZNas Sumedang bekerjasama dengan BAZNas RI berhasil membangun kembali rumah milik Adun (73) tidak layak huni di Dusun Tarogong, RT 008 RW 003, Cijeungjing l, Kecamatan Jatigede. Foto: Humas Sumedang.

NEWS

BAZNas Perbaiki Rumah Adun yang tidak Layak Huni

Senin, 2 Des 2024 - 16:08 WIB