BIPOL.CO, JAKARTA – Kebijakan Presiden Donald Trump menjadi kontroversi. Bahkan membuat warga AS kecewa.
Di sisi lain protes serupa juga terjadi di berbagai ibu kota dunia seperti Paris, Roma, dan London, menunjukkan kemarahan global terhadap kebijakan Presiden dari Partai Republik tersebut.
Belum lama ini ribuan warga Amerika Serikat menggelar unjuk rasa menolak kebijakan Presiden Donald Trump.
Pada Sabtu (5/4), ribuan pedemo tersebut memadati National Mall di Washington DC dan berbagai kota lainnya di Amerika Serikat. Ini menjadi gelombang protes terbesar sejak Trump kembali menjabat sebagai presiden.
Spanduk besar bertuliskan “HANDS OFF!” membentang di atas panggung sebuah teater terbuka tak jauh dari Gedung Putih. Para pengunjuk rasa membawa poster bertuliskan “Not My President!”, “Fascism has Arrived,” “Stop Evil,” dan “Hands Off Our Social Security (Bukan Presiden Saya!”, “Fasis Telah Tiba,” “Hentikan Kejahatan,” dan “Jangan Sentuh Jaminan Sosial Kami).
Salah satu peserta aksi, Jane Ellen Saums (66 tahun), menyuarakan kekhawatirannya atas kebijakan Trump yang menurutnya merusak institusi demokrasi yang telah lama menjadi fondasi Amerika.
“Sangat mengkhawatirkan melihat bagaimana pemerintahan ini melibas seluruh sistem checks and balances – dari lingkungan hidup hingga hak-hak pribadi,” ujar pekerja real estate yang datang dengan kostum Mother Nature, dibalut tanaman rambat dan memegang replika bumi, dikutip AFP, Minggu (6/4).
Protes serupa juga terjadi di berbagai ibu kota dunia seperti Paris, Roma, dan London, menunjukkan kemarahan global terhadap kebijakan Presiden dari Partai Republik tersebut.
Aksi ini digagas oleh koalisi longgar dari puluhan kelompok progresif di AS, termasuk MoveOn dan Women’s March, dalam kampanye bertajuk “Hands Off.”
Menurut penyelenggara, demonstrasi serentak digelar di lebih dari 1.000 kota dan distrik kongres di seluruh negeri.
Tema utama aksi ini adalah penolakan terhadap kebijakan-kebijakan Trump. Pedemo menilai sebagai “Perebutan kekuasaan paling terang-terangan dalam sejarah modern yang dipimpin oleh Donald Trump, penasihatnya Elon Musk, dan sekutu-sekutu miliardernya.”
Trump menuai kritik tajam karena berbagai kebijakannya yang dinilai agresif, termasuk upaya memperkecil ukuran pemerintahan, mendorong nilai-nilai konservatif, serta memberlakukan tekanan besar kepada negara-negara sahabat dalam urusan dagang – yang bahkan menyebabkan gejolak di pasar saham.
“Trump, Musk, dan para miliarder pendukung mereka tengah menjalankan serangan habis-habisan terhadap pemerintahan, ekonomi, dan hak-hak dasar kita – dan itu didukung penuh oleh Kongres,” kata pedemo.
Banyak pendukung Partai Demokrat mengungkapkan kekecewaannya karena partai mereka, yang saat ini menjadi minoritas di Senat dan DPR, tampak tak berdaya dalam menghadapi langkah-langkah agresif Trump.
Demonstrasi ini menjadi sinyal bahwa penolakan terhadap pemerintahan Trump terus menguat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Tarif Impor Berpengaruh bagi Negara Asia

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru atau dikenal dengan tarif Trump untuk Amerika Serikat pada Rabu, 2 April 2025.
Dikutip dari Tempo.co, Trump berencana menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua barang impor, serta memberlakukan tarif balasan yang lebih tinggi terhadap produk dari negara-negara tertentu. Langkah ini, menurut menuai respons dari berbagai negara di dunia, terkhusus pada kawasan Asia.
Jepang
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba menyebut tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump terhadap produk-produk Jepang sebagai “krisis nasional” pada Jumat, 4 April 2025. Pernyataan tersebut disampaikan menjelang diskusi lintas partai yang bertujuan mencari solusi untuk meredam dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian Jepang yang sangat bergantung pada ekspor.
Ia menekankan pentingnya bersikap tenang dalam menghadapi negosiasi dengan Trump, yang baru-baru ini memberlakukan tarif sebesar 25 persen terhadap impor mobil dari Jepang, yang mulai berlaku minggu ini.
Kamar Dagang dan Industri Jepang (JCCI) menyatakan bahwa tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump akan memberikan dampak yang sangat serius terhadap perekonomian Jepang.
Dalam pernyataan resminya pada Kamis, JCCI meminta pemerintah Jepang untuk terus melakukan negosiasi agar bisa mendapatkan pembebasan dari kebijakan tarif tersebut. Mereka juga mendorong pemerintah mengambil langkah-langkah konkret guna mengurangi dampaknya, khususnya terhadap usaha kecil dan menengah, antara lain dengan memperkuat sistem konsultasi serta memberikan dukungan manajemen keuangan.
Cina
Adapun Kementerian Perdagangan Cina menegaskan penolakan keras terhadap tarif baru yang diberlakukan dan menyatakan akan mengambil langkah balasan guna melindungi hak serta kepentingan negaranya.
Kadin Minta Prabowo Segera Mengambil Langkah Hadapi Tarif Trump
“Perang dagang tidak membawa kemenangan bagi siapa pun, dan proteksionisme bukanlah solusi,” ujar juru bicara kementerian. Cina juga mendesak Amerika Serikat untuk segera menghentikan kebijakan tarif sepihak tersebut dan menyelesaikan perselisihan dagang melalui dialog yang setara dan adil.
Pemerintah Cina memberlakukan tarif 34 persen atas produk-produk impor asal Amerika Serikat (AS) sebagai balasan dari penerapan bea impor timbal balik yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump.
“Kebijakan bebas bea dan keringanan tarif yang berlaku saat ini tidak berubah, dan tarif tambahan ini tidak termasuk dalam keringanan,” demikian disebutkan dalam laman Komite Tarif Dewan Negara Cina pada Jumat, seperti yang dikutip dari Antara di Beijing pada Sabtu, 5 April 2025.
Vietnam
Di Vietnam sendiri, Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh, menggelar rapat darurat guna merumuskan strategi jangka pendek dan panjang. Hal ini menyusul keputusan Presiden Trump yang menetapkan tarif tinggi sebesar 46 persen terhadap Vietnam. Media lokal melaporkan bahwa meskipun menghadapi kebijakan ini, Vietnam tetap berharap Amerika Serikat menjaga kebijakan yang sejalan dengan hubungan baik antarnegara. Target pertumbuhan ekonomi Vietnam tahun ini sebesar minimal 8 persen pun kini terancam akibat kebijakan tarif terbaru dari Trump.
Thailand
Dikutip dari Bangkok Post, Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menyatakan pada Kamis bahwa negaranya akan segera membuka jalur negosiasi dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden AS Donald Trump hanya beberapa jam sebelumnya.
Paetongtarn mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah strategis, termasuk rencana pengiriman sekretaris tetap untuk berdialog dengan pihak AS. Ia menambahkan bahwa masih ada ruang untuk melakukan negosiasi.
Singapura
Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong pada 5 April 2025 memperingatkan bahwa tarif baru yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump berisiko memicu perang dagang global apabila negara-negara lain merespons dengan tindakan balasan. Ia juga mengimbau masyarakat Singapura untuk bersiap menghadapi potensi gangguan ekonomi di masa depan.
“Saat ini, Singapura berdiri di atas fondasi yang kuat, tetapi Anda semua tahu bahwa kita memasuki dunia yang akan semakin berbahaya dan tidak dapat diprediksi,” ujarnya dikutip dari straitstimes.com.
Perdana Menteri Singapura menyatakan bahwa langkah China yang membalas dengan tarif serupa kemungkinan besar akan diikuti oleh negara-negara lain, yang berpotensi memicu perang dagang global berskala besar. Ia menegaskan pentingnya kewaspadaan, menyebut bahwa Singapura perlu mempersiapkan diri menghadapi guncangan-guncangan lain yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Kamboja
Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet menyampaikan bahwa kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat mencerminkan kerugian besar yang dialami negara tersebut akibat ketidakseimbangan perdagangan global, terlihat dari defisit perdagangannya. Pernyataan ini disampaikan dalam siaran pers hasil rapat Kabinet pada Jumat, 4 April 2025.
“Ia mencatat bahwa inilah sebabnya pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan pemberlakuan “tarif timbal balik” pada negara-negara yang mengalami defisit perdagangan dengan AS,” katanya lewat siaran pers yang diterbitkan oleh The Phnom Penh Post.
Hun Manet menegaskan bahwa Pemerintah Kerajaan Kamboja akan melakukan negosiasi dengan pihak AS untuk mencari solusi terbaik. Ia juga mengakui bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak pada ekonomi Kamboja, namun tidak sebesar yang dikhawatirkan atau dibesar-besarkan di media sosial. Untuk itu, ia mengimbau masyarakat tetap tenang dan percaya pada langkah-langkah yang akan diambil pemerintah.(*)